(sumber gambar: travel.detik.com) |
Minggu, 08 Desember 2013
Aku baru saja membuka mata, arloji di
tanganku menunjukkan pukul 4.10 pagi. Seperti biasanya, ada ritual khusus yang
selalu aku lakukan selepas bangun tidur yaitu wajib membaca buku minimal 15
menit, tak peduli apakah hari itu weekday,
weekend atau bahkan hari penting
sekalipun. Membaca di pagi hari selalu memberiku inspirasi dan tambahan energi
untuk kegiatan selanjutnya. Di rak bukuku berjejer ratusan buku mulai dari buku
pengetahuan umum, buku agama, novel sampai buku primbon! Pagi ini aku
memutuskan membaca buku dongeng, satu per satu halaman aku baca. Sampai pada
halaman ke-12 aku melihat secarik kertas yang terlipat rapi, kemudian aku
membuka lipatan kertas itu, kertas itu bertuliskan ‘kita janji 3 tahun lagi
kita bakal balik lagi, demi cinta. (22 Februari 2008, ttd. Ahsan dan Anis)’.
Kertas itu memaksaku mengenang kejadian beberapa tahun lalu...
***Tahun 2007***
Azzam, sahabat aku sejak sama-sama
sekolah di SMAN 1 Tangerang, aku dan Azzam sama-sama kuliah di Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. Malam itu Azzam mengajak aku makan di
warung tongseng pak Iwan, warung tongseng terenak yang terletak di lingkungan
kos-kosan mahasiswa Unsri. kami duduk di meja paling luar dekat dengan jalan.
Ketika aku menikmati hidangan tongseng seorang perempuan melintas di hadapanku,
ia berjalan bersama teman-temannya. Perempuan itu membuatku terpana.
“heh San liat apaan sih?” dengan nada heran Azzam
bertanya.
“gilaaa zam gue tadi liat cewek cantik, hidungnya
mancung, tinggi, kulitnya putih langsat.”
“mana mana mana???” Azzam langsung membalikkan
badannya dan menoleh ke segala arah.
“udah belok kiri tadi masuk gang. Ah lu udah punya
cewek jg masih aja penasaran sama cewek cantik, zam! Heran gue. ckck”
Kejadian itu mengusikku, aku penasaran
dengan sosok perempuan itu. tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa, aku tak tahu
siapa namanya. Aku yakin dia mahasiswi Unsri karena di kota Indralaya ini tak ada
lagi Perguruan Tinggi selain Unsri. Seminggu kemudian, selepas kuliah aku dan Azzam
mengobrol bersama beberapa teman satu angkatan di lobi gedung Pengajaran
perihal kegiatan KKL yang akan dilaksanakan bulan depan. Di tengah-tengah
obrolan datang adik tingkat yang sudah sangat akrab dengan aku, Mita namanya.
ia meminta tolong untuk diantarkan ke tempat fotokopi karena ada beberapa
materi kuliah yang harus difotokopi. Aku pun mengantarkannya ke tempat fotokopi
depan kampus. Sesampainya di tempat fotokopi, tak disangka aku melihat perempuan
itu lagi. Ia berjalan keluar dari tempat fotokopi menuju kampus. Lagi-lagi aku
dibuatnya terpana.
“cieee kakak, segitunya banget ngeliatinnya. Dia Annisa
Zahra kak, anak Akuntansi 2005. Biasa dipanggil Anis.” suara Mita membuyarkan
khayalanku.
“oh yaa? Kok kamu bisa kenal?”
“Anis kan tetangga kosan aku kak. Dia bunganya
akuntansi loh, lagi jomblo sekarang.”
Bermodal kedekatan dengan Mita, aku
memberanikan diri untuk mengenal Anis. Aku sering berkunjung ke kosan Mita,
diusahakan selalu ada perlu untuk datang ke kosan Mita. Entah itu untuk belajar
bareng, numpang nge-print, sampai
pura-pura pinjam alat tulis dengan Mita. Semua itu dilakukan agar aku bisa
mengenal Anis lebih jauh. Mita adik tingkat yang baik, ia men-support aku untuk melakukan pendekatan dengan
Anis, ia memberiku nomor hp Anis dan sesekali kami bertiga jalan dan makan
bersama. Aku dan Anis semakin akrab dan dekat, kami semakin intens
berkomunikasi baik itu melalui sms, telpon maupun ngobrol langsung.
Aku berusaha menjadi sosok yang terbaik
di depan Anis. Aku yang dulu sebelum mengenal Anis sangat cuek dengan penampilan,
setelah mengenal Anis menjadi lebih rapi dalam berpenampilan. Aku tak ingin
Anis merasa tidak nyaman dengan penampilanku. Aku melancarkan berbagai strategi
untuk menaklukan hati Anis, aku berusaha menunjukkan rasa sayangku dengan sering
memberinya perhatian dan kejutan, menjadi sosok romantis sekaligus humoris.
Berharap suatu saat nanti Anis mempunyai perasaan yang sama denganku.
Setelah hampir tiga bulan dekat dengan
Anis, aku memberanikan diri untuk mengajaknya nonton di salah satu bioskop di
kota Palembang. Perlu diketahui, kampus Universitas Sriwijaya terbagi menjadi
dua, satu kampus Indralaya dan yang satu lagi kampus Palembang. Indralaya tak
ubahnya Jatinangor-nya Unpad atau Depok-nya UI. Indralaya berjarak 32 km dari pusat
kota Palembang. Tahun 2007 fasilitas di Indralaya tidak cukup untuk dibilang
memadai. Tak ada Mall di Indralaya, tak ada restoran terkenal, apalagi bioskop.
Mahasiswa Unsri yang ingin melepas penat dari hiruk pikuk kampus selalu pergi
ke Palembang, entah itu dengan membawa kendaraan sendiri, jasa angkutan travel
atau bus khusus -semacam bus kopaja atau metromini di Jakarta-. Aku tak tahu di
tahun berapa Indralaya akan berubah wujud dan menjadi ‘kota’ seutuhnya.
Pagi itu aku mengajak Anis ke Palembang untuk
menonton film Nagabonar Jadi 2. Kata teman-teman aku film itu cukup menarik,
mengisahkan kesuksesan anak dari Nagabonar di Jakarta, diselingi dengan kejadian-kejadian
lucu. Semoga Anis bahagia. Aku dan Anis berangkat pukul 10 pagi dari Indralaya
menggunakan sepeda motor, melewati jalan raya Indralaya-Palembang. Tak ada
jejeran perumahan, pertokoan apalagi gedung-gedung pencakar langit, yang ada
hanya rawa di sisi kiri kanan jalan menuju Palembang dan sesekali terlihat
rumah panggung yang berdiri di atas rawa, khas rumah adat Sumatera Selatan. Aku
sungguh bahagia menempuh 32 kilometer bersama sang pujaan hati. Aku berharap
bisa selambat mungkin untuk sampai di Palembang. Biarkan aku menikmati kebersamaan
ini, selama-lamanya.
“gimana Nis filmnya, seru kan? Adegan apa yg paling
kamu suka?”
“seru banget kak, aku paling suka adegan Deddy
Mizwar yang naik-naik ke patung Jendral Sudirman. Itu menggugah banget, aku
jadi sadar kalo aku selama ini belum memberikan apa-apa buat Negara ini, aku
juga lupa akan perjuangan pahlawan kemerdekaan semacam Jenderal Sudirman.
Makasih ya kak udah diajakin nonton.” Jawaban Anis yang diakhiri dengan senyum
manisnya.
“iya bener Nis, banyak ya pesan moral film ini.
Selow, sama-sama aku juga seneng bisa nonton sama kamu. Sebelum balik yuk makan
dulu!”
Aku memilih restoran yang terdekat
dengan bioskop, karena terletak di lantai paling atas dan langsung menghadap ke
jalan. Hiruk-pikuk kota Palembang sangat terlihat jelas. Usai memesan menu,
sembari menunggu pesanan kami lanjut berbincang santai dan sesekali aku
melemparkan humor agar suasana lebih cair. Setelah suasana lebih cair, aku pun
memberanikan diri untuk mengutarakan perasaan aku selama ini.
“Nis, boleh gak aku ngomong sesuatu?” aku bertanya
dengan tatapan mata yang tajam.
“ya kak, silakan” jawab Anis singkat.
“kita udah hampir tiga bulan deket, kita udah
sama-sama mengenal karakter masing-masing. Aku ngerasa nyaman dan bahagia
ketika aku deket kamu. Anis.... aku sayang kamu....” sambil menyodorkan sebatang
coklat SilverQueen yang sudah aku siapkan semalam sebelumnya.
“....would you be mine, Nis?.... Kalo kamu mau, simpan
coklat ini tapi kalo kamu nolak patahin coklat ini.” aku melanjutkan.
Anis mengambil coklat itu memegang kedua ujung
coklat dengan kedua tangannya. Ia mulai melengkungkan coklatnya, jantungku
berdebar begitu kencang, keringat dingin mulai mengucur di sekujur tubuh.
Perjuangan aku selama ini rasa-rasanya akan sia-sia, aku harus kuat menerima
kenyataan seburuk apapun.
“of course yes, kak!” Anis tersenyum, ia tak jadi
mematahkan coklat itu, ia menyimpannya. Terlihat rona bahagia di wajah Anis
plus tatapan mata yang berbinar.
Hari itu aku merasakan kebahagiaan yang
belum pernah aku rasakan sebelumnya, aku merasa menjadi laki-laki yang paling
bahagia di dunia. Menjalin hubungan dengan Anis memberiku motivasi lebih untuk
menyelasaikan studi S-1. Anis perempuan yang sangat baik, ia begitu perhatian
dengan aku, ia juga tak segan-segan mengomeliku ketika aku malas-malasan
membuat tugas atau belajar UAS. Indeks Prestasi (IP) aku di semester 7 melonjak
tajam, dari yang sebelumnya tidak pernah tembus di atas 3,3 di semester 7 IP
aku menjadi 3,85. Setidaknya setiap dua minggu sekali di akhir pekan aku selalu
mengajak Anis jalan, pernah sesekali juga aku mengantarkan Anis pulang ke
rumahnya di daerah km. 12 kota Palembang. Aku tak berani untuk sering-sering
mengantarkan Anis pulang ke rumahnya, karena aku tahu ayah Anis sangat melarang
Anis untuk pacaran. Jika sampai ayah Anis tahu kalau Anis pacaran, Anis akan kena
marah besar dan dapat hukuman.
Aku sama sekali tak melihat kekurangan
pada diri Anis, kecuali dua hal. Anis suka tiba-tiba membatalkan janji dan ia
keras kepala. Hanya dua hal itu yang aku tak suka dari dia. Selebihnya, tak ada
yg tak aku suka darinya. Pernah suatu ketika Anis sedang pulang ke rumahnya dan
aku sedang berkunjung ke rumah teman di daerah Jakabaring Palembang. Dia memintaku
untuk menemaninya belanja kebutuhan dapur di salah satu pasar swalayan di
daerah Jl Soekarno-Hatta Palembang. Jarak dari Jakabaring ke rumah Anis sekitar
14 km. Aku buru-buru pamit dari rumah teman menuju ke rumahnya, namun di tengah
jalan suara hp aku berbunyi, ada sms masuk dari Anis.
“kak gajadi, aku udah naik angkot. Aku belanja
sendiri aja.”
Aku mencoba untuk melobinya, setidaknya aku bisa
menemaninya belanja dan mengantarkannya pulang, namun Anis tak bergeming. Ia tetap
dengan pendiriannya untuk belanja sendiri. Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku terpaksa
putar balik dan segera pulang ke kosan, dengan penuh kekecewaan.
***Tahun 2008***
Sudah 9 bulan aku menjalin hubungan
dengan Anis, awal tahun 2008 aku memasuki semester 8. Aku mulai menyiapkan
proposal skripsi aku. Selama 9 bulan menjalin hubungan, relatif tak ada masalah
berarti semuanya berjalan dengan lancar. Walaupun sempat ada beberapa keributan
dan kesalahpahaman, aku menyikapinya dengan santai, menahan emosi dan selalu
berusaha berpikir positif. Aku yakin setiap hubungan akan selalu ada masalah,
ketika masalah menimpa pilihannya hanya dua. Hubungan akan menjadi lebih kuat
atau menjadi hancur.
Jumat, 22 Februari 2008 pukul 3.35 sore
Anis mengajakku untuk bertemu di depan Auditorium Unsri, ada hal penting yang
ia ingin bicarakan. Aku segera meluncur menuju Auditorium. Sesampainya di Auditorium
aku melihat Anis yang berdiri dan menyambutku dengan senyuman, kemudian aku
menghampirinya.
“hey Nis, tumben ngajak ketemuan di sini biasanya
nyuruh aku ke kosan mulu kalo mau ketemu. Ada apa?” tanyaku kepada Anis.
Suasana menjadi hening beberapa detik, senyuman Anis
tak lagi tampak dari bibirnya. Wajah Anis berubah murung dan tatapan matanya
menjadi sayu, kemudian Anis menjawab dengan nada yang lirih.
“kak, ayah aku tau kalo aku pacaran. Ayah aku marah
besar, aku udah gak boleh lagi nge-kost. Aku mulai hari ini PP
Palembang-Kampus. Aku juga disuruh ayah buat menjauhi kakak....” Kata-kata Anis
merobek hatiku, aku merasa sedih sekaligus simpati dengan yg dialami kekasihku.
“......mulai saat ini kita saling menjauh ya kak,
aku gak mungkin selalu backstreet dan terus-terusan membohongi orang tua aku
kak. Aku gamau jadi anak durhaka. Ayah aku sangat keras untuk urusan ini, kalo
aku masih bandel ayah bisa aja mindahin kuliah aku. Ini demi kebaikan kita
bersama kak.” Anis melanjutkan diikuti tetesan-tetesan air yang mengalir halus
di pipinya. Mendengar semua itu, jiwa aku terguncang. Aku hampir saja ikut
meneteskan air mata, tetapi aku segera menguasai keadaan. Hati aku berkata,
kamu harus mengerti posisi Anis, San. Jangan egois dan ingin menang sendiri.
Kamu harus support Anis.
“oke Nis, aku ngerti. Kita boleh berpisah, tapi hati
kita harus tetap menyatu sampai kapanpun. Ikuti perintah ayahmu Nis.” tanggapan
aku dengan penuh kesedihan.
Aku dan Anis sepakat untuk saling
menjauh meskipun masih saling mencintai. Kami sepakat untuk tidak menghubungi
satu sama lain. Anis meyakinkan aku kalau jodoh pasti akan ada takdir yang
menuntun kami kembali, berusahalah dan berdoalah. Setelah nanti aku siap
menikahinya, Anis mempersilakan aku untuk langsung datang ke rumahnya.
Auditorium Unsri menjadi saksi bisu dimana kami saling menghapus nomor handphone masing-masing, dimana kami
saling berjanji untuk tidak berusaha mencari tahu kabar masing-masing, dimana
kami menulis surat perjanjian yang bertuliskan ‘kita janji 3 tahun lagi kita
bakal balik lagi, demi cinta.’ yang dibubuhkan tandatangan aku dan Anis. Surat
perjanjian yg aku tulis diserahkan ke Anis dan surat yang ditulis Anis
diserahkan ke aku.
Sejak kejadian di Auditorium itu, aku
tak pernah lagi bertemu dengan Anis. Kami sibuk dengan dunianya masing-masing.
Aku sibuk dengan skripsiku, sementara anis mungkin sibuk dengan organisasinya.
Di hari wisudaku, aku pun sengaja untuk tidak mengabarkan Anis karena aku tidak
ingin melanggar kesepakatan bersama, aku hanya boleh bertemu ketika aku sudah
siap melamar Anis. Selepas wisuda aku diterima bekerja di perusahaan kontraktor
kecil di Jakarta. Penghasilan aku waktu itu tidak sampai 6 juta rupiah per
bulan. Aku bertekad nanti setelah 3 tahun, tepat tanggal 22 februari 2011 aku
akan datang ke rumah Anis untuk melamar dia. Setiap bulan aku berusaha
menabung, berinvestasi dan membuka franchise
makanan di tempat-tempat strategis. Hal ini aku lakukan agar nanti setelah
3 tahun, aku sudah mempunyai tabungan yang cukup untuk melangsungkan pernikahan
dan berbulan madu di luar negeri, karena jika hanya mengandalkan penghasilan
aku sebagai junior engineer
rasa-rasanya akan sangat sulit untuk mewujudkan itu semua. Selain berusaha
mengumpulkan finansial sebanyak-banyaknya, tak lupa juga aku selalu berdoa. Di
setiap akhir sujud shalat wajibku, di setiap akhir sujud tahajudku, hanya nama
Anis yang aku sebut untuk dijadikan jodohku. Selama 3 tahun aku tak pernah
sekalipun dekat dengan perempuan lain dan aku selalu istiqomah menjalankan ini
semua.
***Tahun 2011***
Melalui Job Fair Universitas Indonesia,
awal tahun 2011 aku mendaftar menjadi Surveyor di salah satu perusahaan
konstruksi asing, PT. Albrecht-Indonesia Perkasa. Berharap aku bisa bekerja di
perusahaan yang jauh lebih besar dengan penghasilan yang jauh lebih besar pula.
Aku melewati semua tahapan seleksi dengan baik, aku berhasil meyakinkan HRD
perusahaan tersebut untuk merekrutku. Di akhir pengumuman, aku menjadi salah
satu dari 7 orang yang diterima menjadi pegawai baru di perusahaan itu. Proses
penandatanganan kontrak kerja akan diberitahu beberapa hari kemudian melalui
sambungan telpon.
Aku senang bukan main, tabunganku saat itu
sudah cukup untuk menikahi Anis dan berbulan madu dengannya di luar negeri, ditambah
aku sudah diterima bekerja di perusahaan konstruksi asing, dan sebentar lagi
tanggal 22 ferbuari 2011. Hari yang paling aku nantikan sejak 3 tahun yang
lalu. Aku yakin Anis pun menantikan kedatanganku di rumahnya tanggal 22
februari, aku harus menepati komitmen yang sudah dituliskan bersama.
Handphone-ku berdering, panggilan dari nomor 0542-653442. ‘Ah
pasti ini dari Albrecht yang akan memberitahu waktu kontrak kerja.’ Gumamku
dalam hati, tanpa pikir panjang aku langsung mengangkat telpon.
“halo selamat siang, apa benar ini bapak Ahsan
Maulana?”
“iya benar, maaf ini siapa?”
“saya staf HRD PT. Albrecht-Indonesia Perkasa.
Proses penandatangan kontrak kerja dilakukan hari senin tanggal 21 Februari
bertempat di kantor pusat Balikpapan pukul 13.00 WITA. Untuk masalah akomodasi
dari Jakarta menuju Balikpapan akan disediakan oleh perusahaan.”
“baik bu, terima kasih.”
Senin, 21 Feburari
2011
Usai shalat subuh aku bergegas menuju
Bandara Soekarno-Hatta. pukul 7.20 WIB pesawat take-off. Setelah 2 jam perjalanan, pukul 10.25 WITA pesawat landing di Bandara Sepinggan Balikpapan.
Sesampainya di bandara Sepinggan aku dijemput staf dari perusahaan, aku
langsung menuju kantor Albrecht. Proses penandatanganan kontrak kerja pun
selesai dilakukan. Minggu depan aku mulai bekerja di Albrecht dengan
penghasilan dua digit rupiah per bulan. Aku hanya menginap satu malam di Balikpapan,
keesokan paginya aku harus kembali ke Jakarta kemudian segera terbang ke
Palembang, menemui cintaku, Anis.
Selasa, 22
Februari 2011
Aku amat bahagia, akhirnya hari yang
ditunggu pun datang. Aku membuka jendela Hotel menikmati segarnya udara pagi di
Balikpapan. Aku segera berkemas, menyiapkan segala hal untuk proses lamaran tak
resmiku, termasuk cincin yang akan aku sematkan di jari manis Anis sebagai
tanda keseriusanku untuk meminangnya. Rencananya setelah aku melakukan lamaran
tak resmi, tiga hari kemudian aku akan melakukan lamaran secara resmi dengan membawa
serta keluarga aku ke rumah Anis. Pukul 13.45 WIB aku landing di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Aku
berisitirahat di hotel dekat Bandara karena rumah Anis tidak begitu jauh dari
Bandara. Aku juga menyewa mobil untuk kegiatan aku selama di Palembang. Malam
harinya aku akan memberi kejutan untuk Anis, secara tiba-tiba aku datang ke
rumahnya untuk melamarnya. Anis pasti akan bahagia menyambutku dengan senyum
manisnya.
Malampun tiba, pukul 19.45 selepas
shalat Isya aku bergegas menuju tempat parkir hotel, aku membuka pintu mobil.
Aku menyetir dengan hati-hati, kemudian belok kanan melewati Lampu Merah
Simpang Tanjung Api-api menuju perumahan Griya Cipta di daerah km. 12. Setelah
10 menit di perjalanan aku sampai di rumah Anis. Aku melihat dua buah mobil Toyota
Fortuner berwarna putih terparkir di depan pagar rumah Anis. Dari dalam mobil
aku bisa melihat keramaian di rumah Anis. Aku sedikit ragu untuk masuk rumah
Anis, jangan-jangan Anis sudah pindah rumah, jangan-jangan ada keluarga Anis
yang meninggal dan pikiran-pikiran negatif lainnya. Aku segera menepis
pikiran-pikiran negatif.
Aku harus memberanikan diri untuk masuk
ke rumah Anis. Aku menyimpan ring box
di saku samping celana, aku membuka pintu mobil dan beranjak dari mobil,
melewati gerbang rumah yang sudah terbuka. Sampai di muka pintu rumah, ku ketuk
dengan hati-hati pintu yang sudah sedikit terbuka itu, sayup-sayup keramaian
dari dalam rumah semakin jelas terdengar. Beberapa saat kemudian pintu rumah
terbuka semakin lebar, lalu muncul sesosok perempuan, perempuan yang amat aku
kenal, Anis. Ia mengenakan kebaya berwarna cream,
ia terlihat sangat menawan, ia semakin cantik dan dewasa. Aku tersenyum, aku
menatap Anis dengan tatapan mata berbinar penuh cinta. Akhirnya setelah
penantian panjang selama 3 tahun aku berhasil bertemu Anis dan menepati
komitmen yang dibuat bersamanya, tanpa sedikitpun aku melanggarnya.
“Anis...” aku memulai percakapan.
Anis tidak menjawab, ia berdiri mematung. Dari
tatapan mata dan gesture tubuhnya aku
tahu, ia begitu terkejut dengan kedatanganku. Ia pastinya tak akan menyangka
kalau aku menepati komitmen yang telah dibuat 3 tahun lalu. Ia pasti sangat bahagia
melihatku di hadapannya hingga ia tak mampu berkata-kata.
“kok ramai Nis?” aku melanjutkan.
Ia masih berdiri mematung. Setelah satu menit ia
berdiri mematung dengan tatapan kosong, ia akhirnya menjawab.
“iya kak, ini acara lamaranku.”
Bagai petir di siang bolong, aku sangat shock mendengar jawaban Anis.
“hah lamaran? Aku ke sini buat ngelamar kamu Nis!”
Anis tertegun beberapa saat, lalu ia menjawab.
“maaf kak terlambat, aku baru aja nerima lamaran Firman.
Dua bulan yang lalu Ayah aku ngenalin aku sama Firman, putra sahabat karibnya.”
“terus gimana dengan komitmen yg pernah kita buat? Dengan
surat perjanjian yang kita tandatangani bersama?” dengan penuh emosi aku
kembali bertanya.
“anggap aja komitmen itu gak pernah ada kak, aku
mencintai Firman. Aku udah gak punya perasaan apa-apa lagi ke kakak. Maafkan
aku kak.”
Tanpa sepatah katapun aku langsung
meninggalkan Anis dan berbalik arah menuju mobil. Hatiku hancur
berkeping-keping, malam itu menjadi malam yang paling kelam yang pernah aku rasakan.
Aku melajukan mobil sekencang-kencangnya. Aku menuju tepian sungai Musi yang
tak jauh dari jembatan Ampera. sesampainya di sana, aku segera memarkirkan
mobil. Aku berlari menuju tepian sungai musi, aku melempar cincin yang aku bawa
untuk Anis sekeras-kerasnya ke sungai Musi. Aku berteriak sekencang-kencangnya ‘ya
Allah mengapa Engkau memberiku ujian seberat ini?? Apakah aku kurang keras
berdoa dan berusaha?? Mengapa Engkau tak adil, Tuhan!!!’. Aku meracau bagai
seorang hamba yang baru mengenal Tuhan, aku tak henti-hentinya menantang dan
mengutuk Tuhan. menagih janjiNya yang tertera di kitab suci, menagih janjiNya
dimana setiap doa pasti akan dikabulkan. Indahnya warna warni lampu jembatan
Ampera dan riuhnya pasar malam tepian sungai Musi malam itu tak mampu secuilpun
menghibur hatiku yang malang.
Anis memilih menikah dengan Firman, seorang
engineer tambang yang saat itu
menjabat Kepala Teknik Tambang (KTT) di salah satu perusahaan batubara besar di
Kalimantan. Sebelum aku sampai di rumah Anis, Anis menjadi perempuan yang
paling aku cintai, namun setelah aku bertemu dengannya Anis berubah menjadi perempuan
yang paling aku benci. Setelah kejadian itu aku trauma untuk membuat janji
dengan siapapun, terlebih untuk menjalin cinta dengan seseorang. Selama dua
tahun aku berada dalam kemalangan, aku belum bisa move on dari Anis.
*******************
“tok tok tok!!...” suara ketukan pintu terdengar
membuyarkan kenanganku tentang Anis beberapa tahun lalu.
“...bangun San, bangun.” Terdengar suara Ibu dari
balik pintu.
“iya Mah, Ahsan udah bangun kok. Ini masih baca
buku, bentar lagi mandi.”
“kamu gak lupa kan hari ini hari pernikahanmu?!” ibu
kembali melanjutkan.
Pukul 9.00 aku tiba di rumah Keisya, pukul 9.30 ijab
kabul dimulai. ‘saya terima nikahnya Keisya Amalia binti Abdul Rahman dengan
mas kawin 8 dinar, 12 dirham dan 2013 rupiah dibayar tunai!’
Ijab kabul sukses dilakukan. Keisya
mencium punggung tangan aku, kemudian aku kecup dengan mesra kening Keisya.
Kecupan pertama untuk seorang perempuan sepanjang hidupku, selain ibuku. Hari
ini aku sah menjadi suami Keisya, perempuan yang tak kalah baik dari Anis.
Menurut aku Keisya jauh lebih cantik dibanding Anis, ia juga perempuan cerdas
namun tidak keras kepala, ia sosok yang sempurna bagi aku. Dan satu lagi Keisya
tak pernah sekalipun mengingkari janjinya denganku, meskipun menyangkut hal-hal
sepele, semisal ketika ia ber-make up
jika ia mengatakan kepadaku untuk menunggunya 15 menit. Keisya akan menepati
untuk selesai make up paling lambat
15 menit.
Setelah 2 tahun menikah dengan Keisya,
kami dianugerahi satu putra. Aku sangat bahagia menjalani biduk rumah tangga
bersama Keisya. Karakter Keisya tidak berubah, ia sama seperti Keisya yang aku
kenal sebelum menjadi istriku. Ia tetap rendah hati, penuh perhatian, tidak
keras kepala dan sangat taat kepadaku. Ia benar-benar sosok istri yang solehah.
Belakangan aku tahu dari Mita, rumah
tangga Anis dan Firman sudah tidak harmonis lagi. Firman tidak tahan dengan
karakter Anis yang keras kepala dan suka mengingkari janji. Firman memilih
untuk memadu Anis. Aku harap rumah tangga mereka segera harmonis kembali.
Pada akhirnya aku sadar, sekuat apapun
aku mengikat dan mensemogakan seseorang, jika ia bukan jodohku. Ia tak akan
pernah menjadi jodohku. Usaha dan doaku selama ini ternyata tidak sia-sia,
Allah tak pernah mengingkari janjinya. Doaku dikabulkan, tidak dengan menikahi
Anis melainkan Dia mengganti dengan yang lebih baik, Keisya. Tidak ada yang
menjamin jika aku menikah dengan Anis, aku akan tetap bahagia dan hidup harmonis
dengannya. Memang rencana Allah jauh lebih indah dari rencana hambaNya, maka
berbahagialah dan jangan pernah putus asa.
Tamat.
Anis jahad!
BalasHapusAnak UNSRI banget chi. Jangan2 ini kisah nyata seseorang?
Cerpennya bagus, memotivasi aku bikin cerpen lagi hehe
wuahhh aku kira ojak blm baca. ternyata udah baca dan komen di sini haha.. makasih ojak.. share2 juga dong cerpennya ojak. hehe
Hapusoiya itu ceritanya murni fiktif kok, kecuali beberapa adegan memang ada yang nyata tp sedikit dimodifikasi. hehe
HapusAnis jahad!
BalasHapusAnak UNSRI banget chi. Jangan2 ini kisah nyata seseorang?
Cerpennya bagus, memotivasi aku bikin cerpen lagi hehe