Mercusuar

Mercusuar

Sabtu, 25 Juni 2016

Cinta Itu adalah Dirga


Di sebuah gedung 5 lantai sedang diadakan acara pengenalan jurusan kepada siswa-siswi SMA Se-Banten oleh Keluarga Mahasiswa Banten Seluruh Indonesia. Acara ini dikemas dengan sangat menarik, di tengah-tengah aula gedung yang berukuran 3000 meter persegi itu terdapat panggung yang cukup megah. Di panggung tersebut acara inti dilaksanakan, yaitu tiap-tiap perwakilan Universitas melakukan presentasi mengenai kampusnya. Tak lupa pula panitia mengundang beberapa artis terkenal dan motivator untuk mengisi acara, agar audience tidak bosan. Di tiap lantai gedung terdapat stand-stand yang digunakan sebagai basecamp tiap perwakilan Universitas untuk melakukan pengenalan lebih jauh kepada siswa-siswi SMA dengan cara tanya jawab atau pembagian brosur. Di lantai 2 gedung ada stand UI, ITB, UGM, Unpad, Unand, dan Unsri. Tujuan resmi acara ini yaitu untuk mengenalkan berbagai macam jurusan di perguruan tinggi kepada siswa-siswi SMA agar mereka tak salah pilih jurusan. Tujuan tak resminya? Salah satunya sebagai ajang pencarian jodoh!

Saras menculik Dirga dari stand Unpad, ia membawa atau lebih tepatnya menyeret Dirga menuju stand UI.
‘ishh ada apa sih Ras? Jangan nyeret-nyeret gue gini dong.’
‘udah diem lu Dir, gue mau kenalin lu sama temen gue’. Timpal Saras dengan tangan yang masih mencengkram kuat almamater Dirga.
‘aih gak usahlah gue masih pengen sendiri..’
‘jangan banyak bacot, cantik banget orangnya lu pasti suka.’

Dirga hanya bisa pasrah dengan kelakuan Saras, ia tak bisa berbuat apa-apa bak kerbau yang dicucuk petani untuk membajak sawah. Sesampainya di stand UI Saras dengan segera mengenalkan Dirga kepada Vini.
“Vin kenalin ini Dirga, anak FK Unpad semester 6. Bentar lagi skripsi.”
‘Hai Vin..ni..’ dengan nada yang agak canggung Dirga menyapa kemudian menawarkan tangannya yang sedikit gemetar itu kepada Vini.
‘Hai Dirga..’
Dirga dan Vini berjabat tangan dan saling melempar senyum.

Pertemuan itu menjadi awal cerita antara Dirga dan Vini. Dirga mahasiswa berkacamata tebal semester 6 FK Unpad asal Cilegon, sudah 21 tahun menjomblo. Vini mahasiswi semester 6 Manajemen UI asal Tangerang, baru dua minggu lalu memutuskan pacarnya yang ketahuan menjadi simpatisan organisasi LGBT, dan tertangkap basah berciuman dengan sesama lelaki di taman dekat danau kenanga UI. Sementara Saras merupakan teman satu kelas Dirga di SMA, sekaligus teman satu kelas Vini di kampus. Saras yang berkarakter sangunisis melankolis ini sangat tertantang untuk membuat sahabatnya, Dirga yang sudah 21 menjomblo agar menjalin kasih dengan Vini, yang juga sahabatnya.

Beranjak dari pertemuan itu Dirga dan Vini memutuskan untuk saling mengenal dan berteman baik. Jarak Jatinangor Depok menyebabkan mereka lebih intens berkomunikasi lewat aplikasi chatting, meskipun sesekali mereka bertemu jika sedang libur semester. Setelah beberapa bulan Dirga dekat dengan Vini benih-benih cinta mulai tumbuh di diri Dirga, cinta pertama dalam hidup Dirga.

Dirga merupakan anak semata wayang, sejak kecil dididik oleh orang tuanya dengan sangat ketat, jika tidak ingin dibilang terisolir. Pekerjaan sehari-hari ia sejak kecil hanya seputar belajar, les mata pelajaran, les olimpiade, les musik, renang di rumah, dan bermain game di akhir pekan. Ia tak punya waktu banyak untuk bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya, ia tak pernah jatuh cinta, yang ada dipikirannya hanya buku, buku dan buku. Ketika ia tumbuh dewasa, ia tumbuh sebagai anak yang sangat cerdas dengan prestasi akademik yang sangat gemilang. Meskipun begitu ia sedikit berbeda dengan teman-temannya, ia cenderung tertutup, pemalu, pendiam, dan tidak percaya diri ketika tampil di depan orang banyak.

Dirga yang masih sangat amatir untuk urusan percintaan, tidak begitu tahu kiat-kiat agar sukses dalam pendekatan. Ia tampil sebagai pria yang membosankan dan terlalu serius, berbeda 180 derajat dengan kriteria pria impian Vini.

Selepas Dirga dan Vini menyelesaikan pendidikan mereka, Dirga kini bekerja di rumah sakit besar nasional di Jakarta Pusat, sedang Vini dan Saras bekerja di perusahaan yang sama, di perusahaan perbankan asing di Jakarta Selatan.

**************

Setelah beberapa tahun Dirga dekat dengan Vini, Dirga tak kunjung menyatakan perasaannya. Selalu ada seribu satu alasan untuk tidak jadi menyatakan perasaannya kepada Vini, hingga ia terjebak friendzone dengan Vini. Posisi friendzone membuat Dirga hanya sebagai teman keluh kesah atau lebih cocoknya pelarian ketika dibutuhkan, pelarian ketika Vini disakiti oleh pria-pria yang pernah menjadi kekasihnya. Sebenarnya Vini bukannya tidak peka terhadap perasaan yang disimpan Dirga, ia tahu sejak pertemuan beberapa tahun lalu itu Dirga menyukainya, ia tahu betapa Dirga sangat memperjuangkannya dengan selalu menuruti permintaannya, selalu memberi kado terbaik di ulang tahunnya, selalu ada ketika dibutuhkan, tetapi apa boleh buat Dirga tidak begitu menarik untuk dijadikan kekasih apalagi dijadikan pasangan hidup, pikirnya.

Di penghujung tahun 2013, Vini mengajak Dirga untuk menikmati malam tahun baru di pantai Anyer. Vini ingin kembali bercerita kepada Dirga kalau ia dua hari yang lalu baru saja diputuskan pacarnya, sekalian ingin agar di malam tahun baru tetap ada seseorang yang menemaninya.

31 Desember 2013 Pukul 13.00, Dirga melajukan mobil Xenia bututnya dari Cilegon menuju rumah Vini di Tangerang. Setelah menjemput Vini, Dirga langsung kembali ke arah barat melalui jalan tol Jakarta-Merak menuju Anyer. Pukul 17.30 mereka terjebak macet di jalan Cilegon-Anyer.
‘Dir, ini mobil lu kok AC nya gak kerasa dingin, udah maximum tapi tetep aja kerasa panas!’
‘maklum lah Vin ini mobil udah lama, generasi pertama Xenia muncul di permukaan.’
‘yaudah matiin ACnya, buka kaca aja!’
Vini dengan sewot membuka lebar-lebar kaca mobil Dirga, sementara Dirga hanya tersenyum melihat tingkah laku orang yang ia cintai lalu tetap fokus memegang kemudi.

Pukul 19.30 mereka sampai di Anyer. Dirga memilih pantai yang tidak jauh dari Mercusuar Anyer, dari tempat parkir terlihat panggung yang cukup gemerlap dengan lampu-lampunya. Di depan panggung tersusun rapi 40 meja payung dengan dua kursi yang saling berhadapan. Kabarnya panitia mengundang Pas Band untuk memeriahkan malam tahun baru. Dirga memilih pantai VIP untuk melewati malam tahun baru kali ini, karena ia ingin malam tahun baru ini menjadi momen spesial di hidupnya. Pukul 22.00 pantai semakin ramai, kursi-kursi sudah dipenuhi pasangan muda mudi dan beberapa pengantin baru yang sedang honeymoon. Pun dengan Dirga dan Vini yang sudah sedari tadi duduk di meja yang dipesan.
‘Dir, lu tahu gak gue dua hari lalu diputusin sama pacar gue...’
‘iya gue tahu kok Vin.’ Jawab Dirga singkat.
‘loh kok lu bisa tahu? Gue kan belum cerita ke siapa-siapa!’
‘gue liat kamu hapus status nama cowokmu di bbm, hapus foto-foto berdua di ig, path, facebook, dan twitter.’
‘astaga lu se-kepo itu ternyata!’
‘....................’

Dirga menelan ludah lalu terdiam. Ia baru sadar bahwa yang baru dikatakannya itu salah, ia baru sadar kalau yang dikatakannya ini bisa saja membuat Vini risih. Dirga sudah bertahun-tahun menyukai Vini akan tetapi masih saja tidak naik kelas dalam hal pendekatan dengan Vini.
‘Vin, liat deh bulannya terang banget ya!’ Dirga mencoba mengalihkan topik pembicaraan, lalu menunjuk-nunjuk ke langit yang mendung itu.
‘mana bulannya terang? Ketutup awan gitu! Lain kali kalo mau ngomong gitu liat dulu bulannya baru ngomong.’ Jawab Vini sedikit kesal.

Dirga langsung memasang muka tembok, ia semakin malu dan memalukan saja di hadapan orang yang ia kasihi. Pertama ia sudah ketahuan selalu stalking Vini, kedua ia sudah salah mengalihkan topik pembicaraan. Setelah itu mereka hening beberapa menit, Vini sibuk dengan gadget-nya sembari menikmati kelapa muda di hadapannya, sedang Dirga fokus menonton aksi panggung Pas Band dan sesekali curi pandang pada Vini.
‘Vin gue boleh ngomong sesuatu gak?’ Dirga memecah keheningan di antara mereka.
‘yauda ngomong aja!’
‘vinn.. vinn ma..u ga..k..’ suara Dirga tiba-tiba terbata-bata diiringi cucuran keringat dingin di sekujur tubuhnya.
‘mau apa dirgaaaa??’
Keadaan kembali hening beberapa saat, kemudian Dirga menarik napas dalam-dalam dan berkata secepat kilat.
‘VIN GUE SUKA SAMA KAMU, KAMU MAU GAK JADI PACAR GUE???.. huh huh huh’ terdengar jelas napas Dirga tersengal-sengal setelah mengatakan itu. akhirnya setelah bertahun-tahun tak kunjung menyatakan, ia berani menyatakan juga.

Mendengar itu seketika Vini ternganga dengan mata yang bulat sempurna, terlihat lembaran kecil kelapa muda yang tak jadi dikunyah dan menggantung di bibir manis Vini. Ia tak menyangka kalau malam ini ia akan ditembak Dirga. Ia bingung harus menjawab apa, di satu sisi ia tidak punya perasaan apa-apa terhadap Dirga, di sisi lain ia tak enak hati jika menyakiti hati Dirga yang sudah sangat baik kepadanya. Vini berpikir serius mengenai keputusan apa yang akan ia ambil. Lima menit kemudian.
‘iya Dir gue mau.’
‘SERIUSSSS??’
‘iya Dirgaaaa.’ Diikuti senyum manis Vini, senyum yang sebenarnya bukan berasal dari hati.
Dirga senang bukan kepalang mendengar itu, akhirnya ia jadian juga dengan orang yang ia sayangi. Vini terpaksa menerima cinta Dirga, ia merasa kasihan dengan Dirga. Ia ingin sekali-kali membalas kebaikan Dirga selama ini.

****************

Menjalani hubungan tanpa rasa dengan Dirga membuat Vini tak merasakan kebahagian barang secuil. Sudah tiga bulan hubungan mereka berjalan, Dirga tetaplah Dirga pria yang tidak kreatif dan membosankan dalam urusan percintaan. Pekerjaan Dirga selama pacaran hanya sebatas antar jemput Vini dari rumah yang baru saja Vini beli di daerah Ciputat menuju kantor Vini di bilangan Pondok Indah, Dirga tak ubahnya sopir pribadi Vini. Vini sengaja membeli rumah di Ciputat dan tinggal sendirian, karena jika harus pulang pergi ke kantor dari rumah orang tuanya di Tangerang tentu menguras waktu banyak. Vini sejak SMA sudah tidak pernah lagi menyetir mobil, ia trauma ketika kecelakaan yang ia alami merenggut nyawa sahabatnya yang duduk di sampingnya. Sebelum ia jadian dengan Dirga, Ia lebih memilih menggunakan taksi atau menumpang mobil teman untuk menuju kantor.

Dirga terlalu posesif terhadap Vini, hampir tiap 10 menit sekali Dirga selalu mengirim chat menanyakan hal-hal kurang penting mengenai Vini, dan ia selalu meng-update setiap kegiatannya di Rumah Sakit yang tak jarang hanya di-read saja oleh Vini, atau kalaupun dibalas Vini hanya membalas ‘oh..’ ‘iya’ ‘udah’ ‘belum’ dan ‘yaudah’ saja.

Vini perempuan sosialita masa kini yang punya banyak sekali relasi dan teman lelaki yang berkelas. Ia sangat menjaga reputasi sebagai eksekutif muda, ia tidak ingin martabatnya jatuh di mata rekan-rekan satu kantornya karena hal-hal sepele, semisal ketahuan diantar menuju kantor dengan mobil Xenia butut milik Dirga.
Hari ini hari senin 1 April 2014 pukul 7.00, seperti biasa Dirga menjemput Vini di rumahnya di Ciputat, masih dengan mobil Xenia bututnya. Setelah terjebak kemacetan yang tidak terlalu parah pukul 7.45 mereka sampai di kantor Pajak Jakarta Selatan, 50 meter sebelum kantor Vini.
‘hupp hupp sini ajaaaa!!!’ teriak Vini pada Dirga.
‘..............’ dengan seketika Dirga menginjak rem dalam-dalam, mobil berhenti dan keduanya sedikit terpental ke depan.
‘kenapa sih kamu? Biasanya juga drop di sini kan!’ dengan nada kesal.
‘iya sayang sorry, aku lupa nge-rem.’ Jawab Dirga dengan sangat bersalah.
‘kalo kamu mau nganterin aku masuk ke kantor, ganti dulu mobilnya sama yang baru sama yang bagus. Alphard kek minimal.’ Ujar vini ketus.
‘..............’ Dirga hanya terdiam dan membalas dengan senyuman.
‘yaudah aku ke kantor dulu, makasih.. bye.’
‘iya sayang, hati-hati.’

Dirga laki-laki yang sangat penyabar, ia tidak merasa sakit hati meskipun pacarnya berkali-kali bermulut tajam kepadanya. Dirga bukannya tidak mampu untuk membeli mobil baru yang lebih bagus dari Xenia bututnya, ia berkali-kali ditawarkan oleh ibunya untuk membeli mobil baru. Tetapi Dirga selalu menolak, Ia nyaman dengan mobil Xenia hadiah dari almarhum ayahnya karena Ia masuk SMA favorit. Ia merasa sudah sangat merepotkan orangtuanya. Maka sekaranglah gilirannya mandiri dan terbebas dari finansial orang tua, ia berencana membeli mobil baru ketika tabungannya sudah cukup.

Vini meskipun sudah menjadi pacar Dirga, ia tetap berkenalan dan dekat dengan banyak lelaki. Ia tidak ada rencana untuk menjadikan Dirga sebagai pasangan hidupnya, mempunyai hubungan dengan Dirga ia anggap sebagai ajang balas budi. Kalau nanti balas budinya sudah impas dan waktunya sudah tepat ia akan meninggalkan Dirga.

**************

Kali ini Vini dekat dengan Alan, putra komisaris utama perusahaan tempat ia bekerja sekaligus atasan Vini di kantor. Alan eksekutif muda, kaya, ganteng dan keren dengan muka indo, yang nampaknya akan membuat perempuan manapun jatuh hati padanya. Alan melakukan pendekatan dengan cara yang sempurna, kemampuannya dalam hal menarik hati perempuan tidak diragukan lagi. Namun, bagi pegawai yang sudah bekerja lama di perusahaan tersebut. Alan mempunyai track record buruk sebagai lelaki, ia dikenal sebagai playboy dan penebar benih. Selentingan-selentingan mengenai track record Alan sudah pernah Vini dengar dari teman-teman sekantor, bahkan Saras sudah berkali-kali mewanti-wanti Vini, namun Vini tak percaya. Ia anggap teman-teman sekantornya hanya biang gosip yang iri melihat kedekatan Vini dengan atasan mereka.
Sudah dua bulan Vini dekat dengan Alan, sudah lima bulan jua Vini pacaran dengan Dirga. Vini semakin dekat dengan Alan, di mana setiap weekend selalu jalan berdua. Sebaliknya, Vini mulai menjauh dari Dirga. Sudah sebulan terakhir Dirga diminta untuk tidak mengantar atau menjemput Vini lagi. Sebulan terakhir Vini selalu menumpang mobil Alan untuk pergi dan pulang kantor.

Dirga mulai menyadari perubahan tingkah laku Vini, pertama Vini sebulan terakhir sudah tidak ingin diantar jemput olehnya, dan kedua chat Alan tidak pernah dibalas lagi meskipun dengan jawaban sepanjang ‘oh’ ‘belum’ dan ‘udah’. Kalaupun dibalas perlu waktu seminggu atau bahkan lebih untuk Vini membalasnya.
Dirga mulai menyadari ada perubahan ‘drastis’ pada diri Vini, ia mencari tahu apa yang menyebabkan Vini berubah. sampai akhirnya Dirga tahu dari Saras kalau Vini saat ini sedang dekat dengan Alan.

Saras merasa kasihan pada Dirga, ia tahu betul kalau selama Vini pacaran dengan Dirga, Vini hanya bermodal belas kasihan. Namun Saras tak sampai tega untuk mengatakannya langsung kepada Dirga mengenai hal itu, ia lebih memilih untuk membuat Dirga mengetahui dengan sendirinya.

Sabtu 7 juni 2014, Dirga mendapat info dari Saras kalau malam ini Vini akan jalan berdua dengan Alan di salah satu diskotek di bilangan Kemang. Dirga menyusun rencana untuk melabrak Vini. Pukul 20.00 Dirga membuntuti mobil Land Cruiser milik Alan. sesampainya di Diskotek Black Magic, Alan dan Dirga memarkir mobil masing-masing. Dirga mengintai dari dalam mobil, Alan dan Vini keluar dari mobil menuju lobi Diskotek. Mereka berjalan bergandengan tangan dan begitu mesra. Dirga buru-buru keluar mobil dan menyusul mereka.
‘Viniiii!!!’ tak biasanya Dirga memanggil Vini dengan nada setinggi ini.
‘.............’ Vini dan Alan menoleh ke arah Dirga, Vini terkejut sementara Alan menatap Dirga dengan tatapan bingung.
Dirga mendekati Vini dan menghadap Vini, kini wajah Vini dan wajah Dirga hanya berjarak 40 cm.
‘ke mana aja kamu? Chat aku gak pernah dibales, telponku gak pernah diangkat!’ ujar Dirga, masih dengan nada tinggi.

Mendengar itu, Vini bukannya merasa bersalah ia malah naik pitam. Emosinya meledak kemudian berkata.
‘apa? Chat? Telpon? Hey lu kira lu itu siapa??’ dengan nada tinggi seraya menunjuk-nunjukkan jari telunjuknya di hidung Dirga.
‘......................’
‘Inget satu hal Dirga gue gak pernah mencintai lu, gue nerima lu karena gue kasihan sama lu, sekarang kita putus!’ dengan jari telunjuk Vini yang kini berpindah menunjuk-nunjuk kening Dirga.
‘.....................’
‘mulai sekarang jangan pernah hubungi dan temuin gue lagi, pergi dari hidup gue!’ diikuti dorongan jari telunjuk Vini di kening Dirga, sehingga membuat kepala Dirga sedikit terpental ke belakang.

Kemudian Vini meninggalkan Dirga, Alan tersenyum kecut kepada Dirga. Mata Dirga mulai berkaca-kaca. Kata-kata Vini merobek hati Dirga, dorongan jari telunjuk Vini di keningnya membuat harga diri Dirga sebagai lelaki hancur. Hati Dirga pecah berkeping-keping dengan sakit sesakit-sakitnya. Ia tak menyangka Vini menerimanya hanya karena kasihan. Ia tak menyangka Vini bisa sekasar itu, ia bergegas meninggalkan Diskotek. Malam itu ia merasakan kemalangan yang luas biasa.

Semenjak kejadian malam itu, Dirga benar-benar melenyapkan diri dari hidup Vini. ia ingin menghilangkan semua kenangan bersama Vini. Saat ini ia sudah tidak lagi bekerja di Rumah Sakit di Jakarta Pusat, ia mengambil pendidikan spesialis di Cambridge University sekaligus bekerja di salah satu Rumah Sakit di kota Cambridge, Inggris.

*************

Mempunyai hubungan dengan Alan membuat Vini merasakan kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, ia merasa hidupnya sempurna dengan keberadaan Alan. Vini yakin Alan adalah jodoh yang dipilihkan Tuhan untuknya, apalagi tanda-tanda untuk itu semakin nyata karena mereka berzodiak sama, bergolongan darah sama, mempunyai hobi yang sama, dan karakter yang hampir sama. Meskipun Vini bahagia dengan Alan, Alan membawa pengaruh sangat buruk terhadap Vini. Vini saat ini menjadi perokok aktif, pecandu alkohol dan narkoba jenis sabu. Setahun Vini berpacaran dengan Alan, selama itu pula ia rutin merokok serta mengkonsumsi alkohol dan sabu, sehingga membuat kesehatannya menurun.

Sampai suatu saat, ketika Vini pulang ke Tangerang ia ditemukan di kamarnya muntah darah dengan pergelangan kaki dan perut yang membengkak. Orang tua Vini segera melarikan Vini ke Rumah Sakit di daerah Karawaci, Tangerang. Hasil pemeriksaan dokter ia didiagnosis mengidap Sirosis Hepatis, Sirosis Hepatis adalah kerusakan hati jangka panjang atau kronis yang menyebabkan luka pada hati. Pada tingkat akhir penyakit, jaringan hati akan rusak dan mati sehingga hati tidak dapat lagi menjalankan fungsinya. Diketahui pula Sirosis yang terjadi ini merupakan efek jangka panjang dari penyakit Hepatitis B kronis yang diderita Vini. penyakit yang selama bertahun-tahun sama sekali tidak menimbulkan gejala pada Vini, sesuatu yang jarang sekali terjadi.

Pengaruh gaya hidup yang tidak sehat Vini menyebabkan penyakit Hepatitisnya semakin menggerogoti hatinya yang pada akhirnya menyebabkan Sirosis. Dengan keadaan yang sudah parah dan deteksi penyakit yang sudah sangat terlambat, dokter memperkirakan harapan hidup Vini hanya tinggal sebulan lagi. Untuk saat ini tidak ada obat untuk menyembuhkan Sirosis, jalan satu-satunya untuk menyelamatkan nyawa penderita Sirosis Hepatis adalah dengan transpaltasi Hati.

‘dok apa saya bisa sembuh?’ tanya Vini yang terkulai lemas kepada dokter laki-laki yang memeriksanya.
‘tidak ada yang tidak mungkin Bu jika Tuhan sudah berkehendak.’
‘tolong sembuhkan saya Dok, saya bisa bayar berapapun yang dokter mau. Tolong Dok’
‘kami akan berusahan maksimal Bu.’ Diikuti senyum dokter yang berusaha menenangkan hati Vini.
Pihak Rumah Sakit dan keluarga Vini segera mencarikan donor untuk transpaltasi hati. Pertama dari orang terdekat Vini, namun tidak ada yang cocok karena Vini bergolongan darah AB rhesus negatif (AB-), golongan darah paling langka di Dunia karena persentasenya hanya 1% dari total populasi. Pun dengan pihak Rumah Sakit, walau sudah menemukan beberapa calon pendonor namun tak ada pendonor yang bergolongan darah sama dengan Vini. Harapan terakhir hanya pada Alan, karena Alan sama-sama bergolongan darah AB-. Orang tua Vini dan Saras sudah beberapa kali membujuk Alan untuk mendonorkan sebagian hatinya, akan tetapi Alan tetap tidak bersedia. Ia takut jika hal ini dapat mengancam keselamatan jiwanya. Semenjak Vini sakit Alan sudah tidak pernah lagi menemui Vini, ia tidak pernah menemani Vini yang sedang dirawat. Terakhir Alan bertemu Vini ketika Vini pertama kali dilarikan ke Rumah Sakit.

Hari ini hari ke-20 sejak dokter mengatakan harapan hidup Vini hanya sekitar sebulan lagi. Perkiraan dokter nampaknya benar, di hari ke-20 ini kesehatan Vini semakin memburuk bahkan Vini sempat mengalami koma. Orang tua Vini dan Saras tak henti-hentinya berdoa dan berusaha mencari pendonor yang cocok. hingga akhirnya di hari ke-23 pertolongan itu datang, ada seseorang yang tidak ingin diketahui identitasnya bersedia mendonorkan hatinya. Operasi transpaltasipun dilakukan, salah satu lobus hati si pendonor ditranspaltasikan ke tubuh Vini, setelah melewati 12 jam operasi akhirnya operasi transpaltasi hati sukses dilakukan. Butuh waktu recovery setidaknya 6 bulan agar Vini dapat kembali beraktifitas seperti semula.

*************

Beberapa hari setelah operasi. Vini masih terbaring lemas.
‘Ras, orang tua gue bayar berapa buat orang yang donorin hatinya buat gue?’ tanya Vini pada Saras.
‘ortu lu sama sekali gak bayar, dia gak mau dibayar.’
‘baik banget orang itu. gue pengen banget ngucapin makasih ke dia.’
‘udah lanjut istirahat aja, biar lu cepet sembuh.’ Saras langsung memotong pembicaraan Vini.
Satu bulan pasca-operasi tubuh Vini menjadi kurus, ia tidak lagi secantik dulu. Ketika ia berbaring masih dengan selang infus yang menempel di lengannya, ada bbm masuk dari Alan.
‘hi Vini, kayaknya hubungan kita berakhir sampai di sini aja. Masih banyak mimpi-mimpi yang harus aku kejar yang nampaknya tidak mungkin aku meraih mimpi itu bersama kamu, maafkan aku. Semoga kamu lekas sembuh.’

Membaca itu Vini hanya bisa pasrah. Kemudian ia mendongakkan kepala ke arah langit-langit kamar rumah sakit. Buliran-buliran halus keluar dari matanya. Alan yang dulu sangat mencintainya kini begitu saja meninggalkannya. Ada yang lebih ia sesali selain berakhirnya hubungan ia dengan Alan, yaitu karena ia sudah menyerahkan benteng terakhir kehormatannya sebagai perempuan kepada Alan. Selama setahun berpacaran dengan Alan, Alan sudah beberapa kali mengajak Vini untuk melakukan itu, namun Vini selalu menolak. Hingga akhirnya pada suatu malam setelah pulang dari diskotek Vini yang di bawah pengaruh alkohol diantar pulang oleh Alan ke rumahnya di Ciputat, Vini awalnya menolak namun karena Alan beberapa kali merayu dengan berjanji tiga bulan ke depan ia akan melamarnya. Vini akhirnya menuruti permintaan Alan.

Hari ini tepat tiga bulan sejak kejadian itu, bukannya Alan melamar Vini ia malah meninggalkan Vini di saat Vini sedang berjuang untuk sembuh. Putus dengan Alan membuat Vini frustasi, sambil menangis ia bercerita tentang semuanya kepada Saras. Sejak putus dengan Alan Vini mulai malas makan dan meminum obat, rasa-rasanya Vini ingin segera mati saja. Hidupnya sudah tidak berguna. Saras setiap hari mencoba untuk selalu menguatkan hati Vini, ia selalu mengingatkan betapa besar pengorbanan orang tuanya untuk melihat Vini kembali seperti dulu lagi, Saras juga selalu menasehati Vini bahwa seberapa besarpun kesalahan kita di masa lalu jika kita bersungguh-sungguh memohon ampunan, Allah akan mengampuni karena Dia Al-Ghafur, Maha Pengampun.

Usaha Saras berbuah manis, semangat hidup Vini kembali tinggi. Vini kembali semangat untuk sembuh dan ingin segera melewati masa recovery. 8 bulan berlalu Saras sudah dinyatakan pulih, ia sudah selesai melewati masa recovery dan sudah bisa beraktifitas normal lagi, meskipun tidak bisa normal seratus persen seperti dulu.

Saras sedang berkunjung ke rumah Vini, seperti biasa Saras dan Vini mengobrol di taman belakang rumah Vini.
‘Ras gue tanya mama papa siapa orang yang donorin hatinya buat gue kok mereka gak tau ya? Lu tahu gak orangnya?’
‘hmm emangnya kenapa Vin?’ Saras bertanya balik pada Vini.
‘ya gue pengen lah ngucapin makasih, dia udah nyelamatin hidup gue. Gue rela deh jadi istri dia kalo dia cowok, tapi kalo dia cewek gue mau jadiin dia sodara gue.’
‘haha udah kayak dayang sumbi aja lu Vin.’
‘jadi siapa Ras orangnya? Kenalin ke gue please!’ pinta Vini dengan tatapan mata yang serius.

Saras bingung harus mengatakan apa, ia sudah berjanji kepada si pendonor tidak akan memberi tahu identitasnya ke Saras. Batin saras bergulat hebat, hingga akhirnya ia kalah dan dalam hati Saras mengatakan ‘maafin gue, gue ingkar janji.’

Lalu Saras bercerita kepada Vini..
‘Waktu itu lu lagi koma Vin, menurut perkiraan dokter hidup lu tinggal dua minggu lagi. Gue dan mama papa lu udah berusaha maksimal buat nyari donor yang cocok buat lu, tapi gak ketemu-ketemu. Harapan itu tinggal pada Alan, tapi ternyata Alan gak bersedia. Hingga akhirnya gue inget pas SMA gue pernah satu PMR bareng Dirga, Dirga juga bergolongan darah AB-. Dini hari itu juga gue hubungin Dirga lewat skype, gue nangis-nangis di depan dia. Gue cerita tentang sakit yang lu derita. Dari layar laptop gue juga bisa lihat Dirga netesin air mata pas dia tau lu kena Sirosis. Dirga langsung minta Medical Record lu, gue kirim softcopy-nya lewat email. Setelah baca Medical Record lu, dia baca semuanya dari mulai golongan darah lu sampai ukuran hati lu. Dia langsung bilang ke gue ‘oke semuanya cocok’, dia malem itu juga pergi ke London. Besok paginya dia balik ke Indonesia. Padahal lu tau ras? Seminggu lagi dia bakal sidang buat spesialisnya....’
‘....................’ Vini masih terdiam. jiwa Vini terguncang hebat, ia teringat tentang kenangan-kenangan bersama Dirga, tentang kejahatan-kejahatan yang pernah ia lakukan terhadap Dirga. Tak terasa tetesan-tetesan air mata mulai mengalir di pipi Vini.

‘Pas Dirga nyampe bandara, dia langsung ke Rumah Sakit. Dia gak pulang ke Cilegon. Pas dia nyampe Rumah Sakit, dia cuma nemuin gue. Dia gak nemuin orang tua lu. Dirga gak mau lu sampe tahu kalo yang donorin hati buat lu itu Dirga. Makanya sebelum operasi dia bikin surat perjanjian di atas materai antara dia sama pihak Rumah Sakit di hadapan notaris, isinya pihak Rumah Sakit gak boleh ngasih tau identitas dia ke lu. kalo sampe Rumah Sakit ngasih tau identitas dia ke lu pihak Rumah Sakit bersedia dituntut di pengadilan. Dirga percaya sama gue, gue akan jaga rahasia ini karena gue gak pernah bocorin rahasia apapun dari dulu. makanya dia gak bikin surat perjanjian sama gue. Tapi hari ini gue terpaksa ingkar janji sama Dirga. Gue gak mau selama hidup lu, lu membenci Dirga Vin.’

tetesan air mata Vini mengalir semakin deras, ada bulir-bulir halus yang masuk ke relung hatinya. Benih-benih cinta kepada Dirga mulai tumbuh di hati Vini.
‘Ras gue harus ketemu Dirga, gue mau peluk dia. Gue mau nangis di pundaknya, gue mau minta maaf. Gue sayang sama dia Ras. Please temenin gue ke Inggris nemuin dia.’ Ucap Vini kepada Saras dengan sangat menggebu-gebu.
‘kalo mau nemuin dia lebih baik sekarang Ras, dia lagi balik ke Cilegon. Besok bakal balik lagi ke Inggris.’
Tanpa pikir panjang sore itu juga Vini dan Saras menuju Cilegon, Saras mengemudi dengan sangat kencang. Jarak Tangerang Cilegon hanya ditempuh dalam waktu satu jam. Pukul 17.15 mereka sampai di rumah Dirga.

‘assalamua’laikum.’ Saras dan Vini memberi salam seraya menekan bel.
Beberapa saat kemudian seorang perempuan paruh baya keluar dari dalam rumah.
‘waalaikumsalam. Eh ada Saras, masuk-masuk!’
Saras dan Vini masuk ke dalam rumah Dirga, mereka bersalaman dengan ibunda Dirga.
‘ini siapa Ras?’ tanya Ibunda Dirga.
‘ini Vini tante, temennya Dirga juga.’ Jawab Saras diikuti senyum Vini.
Dari dulu Dirga anak yang sangat tertutup, ia bahkan tidak pernah bercerita kalau ia pernah menjalin hubungan dengan Vini dan mendonorkan hatinya kepada Vini.

Ibunda Dirga mempersilakan Saras dan Vini untuk duduk di ruang tamu, lalu ia ke dapur untuk mengambil minum dan beberapa makanan ringan. Beberapa saat kemudian Ibunda Dirga datang dan menemani Vini dan Saras duduk.
‘maaf tante, Dirganya mana ya?” giliran Vini bertanya.
‘oh Dirga lagi keluar tuh, baru 15 menit yang lalu keluarnya katanya dia mau ke Serang mau beli sesuatu. tapi  ini dompetnya ketinggalan. Tante telpon gak diangkat-angkat, tante bbm belum dibaca-baca juga. Paling bentar lagi juga balik lagi ke rumah ambil dompetnya.’

Mereka bertiga mengobrol santai, lebih banyak membicarakan seputar kegiatan Saras dan Vini selama ini. Di tengah obrolan ada bunyi bbm masuk di handphone Ibunda Dirga.
Ibunda Dirga membuka bbm, ternyata pesan broadcast. ‘telah terjadi kecelakan di jalan raya Cilegon-Serang antara Xenia bernopol A 3882 XW dengan truck trailer. Pengemudi Xenia tidak membawa identitas apapun ia terluka cukup parah di bagian kepala, sekarang sedang dibawa ke RSUD Serang. Bagi keluarga korban diharap untuk segera mendatangi korban. TOLONG SEBARKAN!’

Ibunda Dirga sangat terkejut dan panik, Xenia bernopol A 3882 XW adalah mobil Dirga. Ia segera memberi tahu Saras dan Vini kalau Dirga kecelakaan dan sedang dirawat intensif di RSUD Serang. Saras buru-buru melajukan mobilnya menuju Serang. Terlihat sekali wajah cemas di antara mereka. Menjelang isya mereka sampai di RSUD Serang, mereka segera mendatangi IGD dan menanyakan kepada dokter tentang keadaan Dirga. Dokter menyarankan agar Dirga secepatnya dirujuk ke RSCM Jakarta karena ada banyak serpihan-serpihan kaca yang menancap di kepala dan sebagian tembus ke otak.

Malam itu juga Dirga langsung dirujuk ke RSCM, ibunda Dirga, Vini, dan Saras ikut ke dalam Ambulance, dengan keadaan Dirga yang masih tak sadarkan diri. Mereka tak henti-hentinya menangis dan berdoa untuk keselamatan Dirga. Tepat di km. 30 jalan tol Jakarta-Merak, di tengah guyuraan hujan yang sangat lebat. Dengan kepala yang diperban serta dialiri darah segar, Dirga siuman. Ia menyadari kehadiran ibundanya, Vini dan Saras. Melihat Dirga siuman.
‘bertahanlah Dirga! Bertahan..’ ucap Ibunda Dirga, Vini dan Saras.
Dirga masih berbaring dan kesakitan, ia berusaha mengatakan sesuatu. Dengan susah payah akhirnya ia berhasil berbicara.
Ia menatap mata Ibundanya dengan tatapan sayu.
‘maah maafkan Dirga selama ini, Dirga sayang mama....’
Kemudian ia menatap  Saras.
‘.....Saras, terima kasih atas bantuannya...’
Sekarang giliran Dirga menatap Vini.
‘...dan Vini.... aku mencintaimu.’ Diikuti senyum dari bibir Dirga yang terlihat merah karena tetesan darah.
Lalu Ibunda Dirga, Vini, dan Saras menuntun Dirga mengucapkan dua kalimat syahadat.
‘Ashadu an laa ilaa ha illa Allah wa ashadu anna muhammad dar rasulullah.’
Beberapa saat kemudian, Dirga memejamkan mata untuk selama-lamanya.

Tangis Vini pecah, ia memeluk Dirga yang sudah terbujur kaku dan menangis sejadi-jadinya, pun dengan Ibunda Dirga dan Saras yang tak kalah histeris. Malam itu malam yang penuh dengan kesedihan, alampun seakan bersedih dengan hujannya. Dirga meninggalkan orang-orang yang disayanginya, ia telah mengajarkan arti cinta kepada Vini. Selamat jalan Dirga.
Tamat.
Terima kasih kepada:
1. (bang) dr. Hafdzi Maulana, Alumni FK UNPAD
2. Nisrina Fatin M., S.Ked., Alumni FK UIN Jakarta
3. Nurbaiti Oktavia A., S.Ked., Alumni FK UNSRI
4. Dinda Nisapratama, S.Ked., Alumni FK UI
5. Syahri Choirrini, (calon) Alumni FKM UI
Yang telah mendukung saya dalam menyelesaikan cerita ini.

Sabtu, 13 Februari 2016

Cinta di Tanah Sriwijaya


(sumber gambar: travel.detik.com)
Minggu, 08 Desember 2013
Aku baru saja membuka mata, arloji di tanganku menunjukkan pukul 4.10 pagi. Seperti biasanya, ada ritual khusus yang selalu aku lakukan selepas bangun tidur yaitu wajib membaca buku minimal 15 menit, tak peduli apakah hari itu weekday, weekend atau bahkan hari penting sekalipun. Membaca di pagi hari selalu memberiku inspirasi dan tambahan energi untuk kegiatan selanjutnya. Di rak bukuku berjejer ratusan buku mulai dari buku pengetahuan umum, buku agama, novel sampai buku primbon! Pagi ini aku memutuskan membaca buku dongeng, satu per satu halaman aku baca. Sampai pada halaman ke-12 aku melihat secarik kertas yang terlipat rapi, kemudian aku membuka lipatan kertas itu, kertas itu bertuliskan ‘kita janji 3 tahun lagi kita bakal balik lagi, demi cinta. (22 Februari 2008, ttd. Ahsan dan Anis)’. Kertas itu memaksaku mengenang kejadian beberapa tahun lalu...

***Tahun 2007***
Azzam, sahabat aku sejak sama-sama sekolah di SMAN 1 Tangerang, aku dan Azzam sama-sama kuliah di Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. Malam itu Azzam mengajak aku makan di warung tongseng pak Iwan, warung tongseng terenak yang terletak di lingkungan kos-kosan mahasiswa Unsri. kami duduk di meja paling luar dekat dengan jalan. Ketika aku menikmati hidangan tongseng seorang perempuan melintas di hadapanku, ia berjalan bersama teman-temannya. Perempuan itu membuatku terpana.
“heh San liat apaan sih?” dengan nada heran Azzam bertanya.
“gilaaa zam gue tadi liat cewek cantik, hidungnya mancung, tinggi, kulitnya putih langsat.”
“mana mana mana???” Azzam langsung membalikkan badannya dan menoleh ke segala arah.
“udah belok kiri tadi masuk gang. Ah lu udah punya cewek jg masih aja penasaran sama cewek cantik, zam! Heran gue. ckck”

Kejadian itu mengusikku, aku penasaran dengan sosok perempuan itu. tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa, aku tak tahu siapa namanya. Aku yakin dia mahasiswi Unsri karena di kota Indralaya ini tak ada lagi Perguruan Tinggi selain Unsri. Seminggu kemudian, selepas kuliah aku dan Azzam mengobrol bersama beberapa teman satu angkatan di lobi gedung Pengajaran perihal kegiatan KKL yang akan dilaksanakan bulan depan. Di tengah-tengah obrolan datang adik tingkat yang sudah sangat akrab dengan aku, Mita namanya. ia meminta tolong untuk diantarkan ke tempat fotokopi karena ada beberapa materi kuliah yang harus difotokopi. Aku pun mengantarkannya ke tempat fotokopi depan kampus. Sesampainya di tempat fotokopi, tak disangka aku melihat perempuan itu lagi. Ia berjalan keluar dari tempat fotokopi menuju kampus. Lagi-lagi aku dibuatnya terpana.
“cieee kakak, segitunya banget ngeliatinnya. Dia Annisa Zahra kak, anak Akuntansi 2005. Biasa dipanggil Anis.” suara Mita membuyarkan khayalanku.
“oh yaa? Kok kamu bisa kenal?”
“Anis kan tetangga kosan aku kak. Dia bunganya akuntansi loh, lagi jomblo sekarang.”

Bermodal kedekatan dengan Mita, aku memberanikan diri untuk mengenal Anis. Aku sering berkunjung ke kosan Mita, diusahakan selalu ada perlu untuk datang ke kosan Mita. Entah itu untuk belajar bareng, numpang nge-print, sampai pura-pura pinjam alat tulis dengan Mita. Semua itu dilakukan agar aku bisa mengenal Anis lebih jauh. Mita adik tingkat yang baik, ia men-support aku untuk melakukan pendekatan dengan Anis, ia memberiku nomor hp Anis dan sesekali kami bertiga jalan dan makan bersama. Aku dan Anis semakin akrab dan dekat, kami semakin intens berkomunikasi baik itu melalui sms, telpon maupun ngobrol langsung.

Aku berusaha menjadi sosok yang terbaik di depan Anis. Aku yang dulu sebelum mengenal Anis sangat cuek dengan penampilan, setelah mengenal Anis menjadi lebih rapi dalam berpenampilan. Aku tak ingin Anis merasa tidak nyaman dengan penampilanku. Aku melancarkan berbagai strategi untuk menaklukan hati Anis, aku berusaha menunjukkan rasa sayangku dengan sering memberinya perhatian dan kejutan, menjadi sosok romantis sekaligus humoris. Berharap suatu saat nanti Anis mempunyai perasaan yang sama denganku.

Setelah hampir tiga bulan dekat dengan Anis, aku memberanikan diri untuk mengajaknya nonton di salah satu bioskop di kota Palembang. Perlu diketahui, kampus Universitas Sriwijaya terbagi menjadi dua, satu kampus Indralaya dan yang satu lagi kampus Palembang. Indralaya tak ubahnya Jatinangor-nya Unpad atau Depok-nya UI. Indralaya berjarak 32 km dari pusat kota Palembang. Tahun 2007 fasilitas di Indralaya tidak cukup untuk dibilang memadai. Tak ada Mall di Indralaya, tak ada restoran terkenal, apalagi bioskop. Mahasiswa Unsri yang ingin melepas penat dari hiruk pikuk kampus selalu pergi ke Palembang, entah itu dengan membawa kendaraan sendiri, jasa angkutan travel atau bus khusus -semacam bus kopaja atau metromini di Jakarta-. Aku tak tahu di tahun berapa Indralaya akan berubah wujud dan menjadi ‘kota’ seutuhnya.

Pagi itu aku mengajak Anis ke Palembang untuk menonton film Nagabonar Jadi 2. Kata teman-teman aku film itu cukup menarik, mengisahkan kesuksesan anak dari Nagabonar di Jakarta, diselingi dengan kejadian-kejadian lucu. Semoga Anis bahagia. Aku dan Anis berangkat pukul 10 pagi dari Indralaya menggunakan sepeda motor, melewati jalan raya Indralaya-Palembang. Tak ada jejeran perumahan, pertokoan apalagi gedung-gedung pencakar langit, yang ada hanya rawa di sisi kiri kanan jalan menuju Palembang dan sesekali terlihat rumah panggung yang berdiri di atas rawa, khas rumah adat Sumatera Selatan. Aku sungguh bahagia menempuh 32 kilometer bersama sang pujaan hati. Aku berharap bisa selambat mungkin untuk sampai di Palembang. Biarkan aku menikmati kebersamaan ini, selama-lamanya.
“gimana Nis filmnya, seru kan? Adegan apa yg paling kamu suka?”
“seru banget kak, aku paling suka adegan Deddy Mizwar yang naik-naik ke patung Jendral Sudirman. Itu menggugah banget, aku jadi sadar kalo aku selama ini belum memberikan apa-apa buat Negara ini, aku juga lupa akan perjuangan pahlawan kemerdekaan semacam Jenderal Sudirman. Makasih ya kak udah diajakin nonton.” Jawaban Anis yang diakhiri dengan senyum manisnya.
“iya bener Nis, banyak ya pesan moral film ini. Selow, sama-sama aku juga seneng bisa nonton sama kamu. Sebelum balik yuk makan dulu!”

Aku memilih restoran yang terdekat dengan bioskop, karena terletak di lantai paling atas dan langsung menghadap ke jalan. Hiruk-pikuk kota Palembang sangat terlihat jelas. Usai memesan menu, sembari menunggu pesanan kami lanjut berbincang santai dan sesekali aku melemparkan humor agar suasana lebih cair. Setelah suasana lebih cair, aku pun memberanikan diri untuk mengutarakan perasaan aku selama ini.
“Nis, boleh gak aku ngomong sesuatu?” aku bertanya dengan tatapan mata yang tajam.
“ya kak, silakan” jawab Anis singkat.
“kita udah hampir tiga bulan deket, kita udah sama-sama mengenal karakter masing-masing. Aku ngerasa nyaman dan bahagia ketika aku deket kamu. Anis.... aku sayang kamu....” sambil menyodorkan sebatang coklat SilverQueen yang sudah aku siapkan semalam sebelumnya.
“....would you be mine, Nis?.... Kalo kamu mau, simpan coklat ini tapi kalo kamu nolak patahin coklat ini.” aku melanjutkan.
Anis mengambil coklat itu memegang kedua ujung coklat dengan kedua tangannya. Ia mulai melengkungkan coklatnya, jantungku berdebar begitu kencang, keringat dingin mulai mengucur di sekujur tubuh. Perjuangan aku selama ini rasa-rasanya akan sia-sia, aku harus kuat menerima kenyataan seburuk apapun.
“of course yes, kak!” Anis tersenyum, ia tak jadi mematahkan coklat itu, ia menyimpannya. Terlihat rona bahagia di wajah Anis plus tatapan mata yang berbinar.

Hari itu aku merasakan kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, aku merasa menjadi laki-laki yang paling bahagia di dunia. Menjalin hubungan dengan Anis memberiku motivasi lebih untuk menyelasaikan studi S-1. Anis perempuan yang sangat baik, ia begitu perhatian dengan aku, ia juga tak segan-segan mengomeliku ketika aku malas-malasan membuat tugas atau belajar UAS. Indeks Prestasi (IP) aku di semester 7 melonjak tajam, dari yang sebelumnya tidak pernah tembus di atas 3,3 di semester 7 IP aku menjadi 3,85. Setidaknya setiap dua minggu sekali di akhir pekan aku selalu mengajak Anis jalan, pernah sesekali juga aku mengantarkan Anis pulang ke rumahnya di daerah km. 12 kota Palembang. Aku tak berani untuk sering-sering mengantarkan Anis pulang ke rumahnya, karena aku tahu ayah Anis sangat melarang Anis untuk pacaran. Jika sampai ayah Anis tahu kalau Anis pacaran, Anis akan kena marah besar dan dapat hukuman.

Aku sama sekali tak melihat kekurangan pada diri Anis, kecuali dua hal. Anis suka tiba-tiba membatalkan janji dan ia keras kepala. Hanya dua hal itu yang aku tak suka dari dia. Selebihnya, tak ada yg tak aku suka darinya. Pernah suatu ketika Anis sedang pulang ke rumahnya dan aku sedang berkunjung ke rumah teman di daerah Jakabaring Palembang. Dia memintaku untuk menemaninya belanja kebutuhan dapur di salah satu pasar swalayan di daerah Jl Soekarno-Hatta Palembang. Jarak dari Jakabaring ke rumah Anis sekitar 14 km. Aku buru-buru pamit dari rumah teman menuju ke rumahnya, namun di tengah jalan suara hp aku berbunyi, ada sms masuk dari Anis.
“kak gajadi, aku udah naik angkot. Aku belanja sendiri aja.”
Aku mencoba untuk melobinya, setidaknya aku bisa menemaninya belanja dan mengantarkannya pulang, namun Anis tak bergeming. Ia tetap dengan pendiriannya untuk belanja sendiri. Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku terpaksa putar balik dan segera pulang ke kosan, dengan penuh kekecewaan.

***Tahun 2008***
Sudah 9 bulan aku menjalin hubungan dengan Anis, awal tahun 2008 aku memasuki semester 8. Aku mulai menyiapkan proposal skripsi aku. Selama 9 bulan menjalin hubungan, relatif tak ada masalah berarti semuanya berjalan dengan lancar. Walaupun sempat ada beberapa keributan dan kesalahpahaman, aku menyikapinya dengan santai, menahan emosi dan selalu berusaha berpikir positif. Aku yakin setiap hubungan akan selalu ada masalah, ketika masalah menimpa pilihannya hanya dua. Hubungan akan menjadi lebih kuat atau menjadi hancur.

Jumat, 22 Februari 2008 pukul 3.35 sore Anis mengajakku untuk bertemu di depan Auditorium Unsri, ada hal penting yang ia ingin bicarakan. Aku segera meluncur menuju Auditorium. Sesampainya di Auditorium aku melihat Anis yang berdiri dan menyambutku dengan senyuman, kemudian aku menghampirinya.
“hey Nis, tumben ngajak ketemuan di sini biasanya nyuruh aku ke kosan mulu kalo mau ketemu. Ada apa?” tanyaku kepada Anis.
Suasana menjadi hening beberapa detik, senyuman Anis tak lagi tampak dari bibirnya. Wajah Anis berubah murung dan tatapan matanya menjadi sayu, kemudian Anis menjawab dengan nada yang lirih.
“kak, ayah aku tau kalo aku pacaran. Ayah aku marah besar, aku udah gak boleh lagi nge-kost. Aku mulai hari ini PP Palembang-Kampus. Aku juga disuruh ayah buat menjauhi kakak....” Kata-kata Anis merobek hatiku, aku merasa sedih sekaligus simpati dengan yg dialami kekasihku.
“......mulai saat ini kita saling menjauh ya kak, aku gak mungkin selalu backstreet dan terus-terusan membohongi orang tua aku kak. Aku gamau jadi anak durhaka. Ayah aku sangat keras untuk urusan ini, kalo aku masih bandel ayah bisa aja mindahin kuliah aku. Ini demi kebaikan kita bersama kak.” Anis melanjutkan diikuti tetesan-tetesan air yang mengalir halus di pipinya. Mendengar semua itu, jiwa aku terguncang. Aku hampir saja ikut meneteskan air mata, tetapi aku segera menguasai keadaan. Hati aku berkata, kamu harus mengerti posisi Anis, San. Jangan egois dan ingin menang sendiri. Kamu harus support Anis.
“oke Nis, aku ngerti. Kita boleh berpisah, tapi hati kita harus tetap menyatu sampai kapanpun. Ikuti perintah ayahmu Nis.” tanggapan aku dengan penuh kesedihan.

Aku dan Anis sepakat untuk saling menjauh meskipun masih saling mencintai. Kami sepakat untuk tidak menghubungi satu sama lain. Anis meyakinkan aku kalau jodoh pasti akan ada takdir yang menuntun kami kembali, berusahalah dan berdoalah. Setelah nanti aku siap menikahinya, Anis mempersilakan aku untuk langsung datang ke rumahnya. Auditorium Unsri menjadi saksi bisu dimana kami saling menghapus nomor handphone masing-masing, dimana kami saling berjanji untuk tidak berusaha mencari tahu kabar masing-masing, dimana kami menulis surat perjanjian yang bertuliskan ‘kita janji 3 tahun lagi kita bakal balik lagi, demi cinta.’ yang dibubuhkan tandatangan aku dan Anis. Surat perjanjian yg aku tulis diserahkan ke Anis dan surat yang ditulis Anis diserahkan ke aku.

Sejak kejadian di Auditorium itu, aku tak pernah lagi bertemu dengan Anis. Kami sibuk dengan dunianya masing-masing. Aku sibuk dengan skripsiku, sementara anis mungkin sibuk dengan organisasinya. Di hari wisudaku, aku pun sengaja untuk tidak mengabarkan Anis karena aku tidak ingin melanggar kesepakatan bersama, aku hanya boleh bertemu ketika aku sudah siap melamar Anis. Selepas wisuda aku diterima bekerja di perusahaan kontraktor kecil di Jakarta. Penghasilan aku waktu itu tidak sampai 6 juta rupiah per bulan. Aku bertekad nanti setelah 3 tahun, tepat tanggal 22 februari 2011 aku akan datang ke rumah Anis untuk melamar dia. Setiap bulan aku berusaha menabung, berinvestasi dan membuka franchise makanan di tempat-tempat strategis. Hal ini aku lakukan agar nanti setelah 3 tahun, aku sudah mempunyai tabungan yang cukup untuk melangsungkan pernikahan dan berbulan madu di luar negeri, karena jika hanya mengandalkan penghasilan aku sebagai junior engineer rasa-rasanya akan sangat sulit untuk mewujudkan itu semua. Selain berusaha mengumpulkan finansial sebanyak-banyaknya, tak lupa juga aku selalu berdoa. Di setiap akhir sujud shalat wajibku, di setiap akhir sujud tahajudku, hanya nama Anis yang aku sebut untuk dijadikan jodohku. Selama 3 tahun aku tak pernah sekalipun dekat dengan perempuan lain dan aku selalu istiqomah menjalankan ini semua.

***Tahun 2011***
Melalui Job Fair Universitas Indonesia, awal tahun 2011 aku mendaftar menjadi Surveyor di salah satu perusahaan konstruksi asing, PT. Albrecht-Indonesia Perkasa. Berharap aku bisa bekerja di perusahaan yang jauh lebih besar dengan penghasilan yang jauh lebih besar pula. Aku melewati semua tahapan seleksi dengan baik, aku berhasil meyakinkan HRD perusahaan tersebut untuk merekrutku. Di akhir pengumuman, aku menjadi salah satu dari 7 orang yang diterima menjadi pegawai baru di perusahaan itu. Proses penandatanganan kontrak kerja akan diberitahu beberapa hari kemudian melalui sambungan telpon.

Aku senang bukan main, tabunganku saat itu sudah cukup untuk menikahi Anis dan berbulan madu dengannya di luar negeri, ditambah aku sudah diterima bekerja di perusahaan konstruksi asing, dan sebentar lagi tanggal 22 ferbuari 2011. Hari yang paling aku nantikan sejak 3 tahun yang lalu. Aku yakin Anis pun menantikan kedatanganku di rumahnya tanggal 22 februari, aku harus menepati komitmen yang sudah dituliskan bersama.

Handphone-ku berdering, panggilan dari nomor 0542-653442. ‘Ah pasti ini dari Albrecht yang akan memberitahu waktu kontrak kerja.’ Gumamku dalam hati, tanpa pikir panjang aku langsung mengangkat telpon.
“halo selamat siang, apa benar ini bapak Ahsan Maulana?”
“iya benar, maaf ini siapa?”
“saya staf HRD PT. Albrecht-Indonesia Perkasa. Proses penandatangan kontrak kerja dilakukan hari senin tanggal 21 Februari bertempat di kantor pusat Balikpapan pukul 13.00 WITA. Untuk masalah akomodasi dari Jakarta menuju Balikpapan akan disediakan oleh perusahaan.”
“baik bu, terima kasih.”

Senin, 21 Feburari 2011
Usai shalat subuh aku bergegas menuju Bandara Soekarno-Hatta. pukul 7.20 WIB pesawat take-off. Setelah 2 jam perjalanan, pukul 10.25 WITA pesawat landing di Bandara Sepinggan Balikpapan. Sesampainya di bandara Sepinggan aku dijemput staf dari perusahaan, aku langsung menuju kantor Albrecht. Proses penandatanganan kontrak kerja pun selesai dilakukan. Minggu depan aku mulai bekerja di Albrecht dengan penghasilan dua digit rupiah per bulan. Aku hanya menginap satu malam di Balikpapan, keesokan paginya aku harus kembali ke Jakarta kemudian segera terbang ke Palembang, menemui cintaku, Anis.

Selasa, 22 Februari 2011
Aku amat bahagia, akhirnya hari yang ditunggu pun datang. Aku membuka jendela Hotel menikmati segarnya udara pagi di Balikpapan. Aku segera berkemas, menyiapkan segala hal untuk proses lamaran tak resmiku, termasuk cincin yang akan aku sematkan di jari manis Anis sebagai tanda keseriusanku untuk meminangnya. Rencananya setelah aku melakukan lamaran tak resmi, tiga hari kemudian aku akan melakukan lamaran secara resmi dengan membawa serta keluarga aku ke rumah Anis. Pukul 13.45 WIB aku landing di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Aku berisitirahat di hotel dekat Bandara karena rumah Anis tidak begitu jauh dari Bandara. Aku juga menyewa mobil untuk kegiatan aku selama di Palembang. Malam harinya aku akan memberi kejutan untuk Anis, secara tiba-tiba aku datang ke rumahnya untuk melamarnya. Anis pasti akan bahagia menyambutku dengan senyum manisnya.

Malampun tiba, pukul 19.45 selepas shalat Isya aku bergegas menuju tempat parkir hotel, aku membuka pintu mobil. Aku menyetir dengan hati-hati, kemudian belok kanan melewati Lampu Merah Simpang Tanjung Api-api menuju perumahan Griya Cipta di daerah km. 12. Setelah 10 menit di perjalanan aku sampai di rumah Anis. Aku melihat dua buah mobil Toyota Fortuner berwarna putih terparkir di depan pagar rumah Anis. Dari dalam mobil aku bisa melihat keramaian di rumah Anis. Aku sedikit ragu untuk masuk rumah Anis, jangan-jangan Anis sudah pindah rumah, jangan-jangan ada keluarga Anis yang meninggal dan pikiran-pikiran negatif lainnya. Aku segera menepis pikiran-pikiran negatif.

Aku harus memberanikan diri untuk masuk ke rumah Anis. Aku menyimpan ring box di saku samping celana, aku membuka pintu mobil dan beranjak dari mobil, melewati gerbang rumah yang sudah terbuka. Sampai di muka pintu rumah, ku ketuk dengan hati-hati pintu yang sudah sedikit terbuka itu, sayup-sayup keramaian dari dalam rumah semakin jelas terdengar. Beberapa saat kemudian pintu rumah terbuka semakin lebar, lalu muncul sesosok perempuan, perempuan yang amat aku kenal, Anis. Ia mengenakan kebaya berwarna cream, ia terlihat sangat menawan, ia semakin cantik dan dewasa. Aku tersenyum, aku menatap Anis dengan tatapan mata berbinar penuh cinta. Akhirnya setelah penantian panjang selama 3 tahun aku berhasil bertemu Anis dan menepati komitmen yang dibuat bersamanya, tanpa sedikitpun aku melanggarnya.
“Anis...” aku memulai percakapan.
Anis tidak menjawab, ia berdiri mematung. Dari tatapan mata dan gesture tubuhnya aku tahu, ia begitu terkejut dengan kedatanganku. Ia pastinya tak akan menyangka kalau aku menepati komitmen yang telah dibuat 3 tahun lalu. Ia pasti sangat bahagia melihatku di hadapannya hingga ia tak mampu berkata-kata.
“kok ramai Nis?” aku melanjutkan.
Ia masih berdiri mematung. Setelah satu menit ia berdiri mematung dengan tatapan kosong, ia akhirnya menjawab.
“iya kak, ini acara lamaranku.”
Bagai petir di siang bolong, aku sangat shock mendengar jawaban Anis.
“hah lamaran? Aku ke sini buat ngelamar kamu Nis!”
Anis tertegun beberapa saat, lalu ia menjawab.
“maaf kak terlambat, aku baru aja nerima lamaran Firman. Dua bulan yang lalu Ayah aku ngenalin aku sama Firman, putra sahabat karibnya.”
“terus gimana dengan komitmen yg pernah kita buat? Dengan surat perjanjian yang kita tandatangani bersama?” dengan penuh emosi aku kembali bertanya.
“anggap aja komitmen itu gak pernah ada kak, aku mencintai Firman. Aku udah gak punya perasaan apa-apa lagi ke kakak. Maafkan aku kak.”

Tanpa sepatah katapun aku langsung meninggalkan Anis dan berbalik arah menuju mobil. Hatiku hancur berkeping-keping, malam itu menjadi malam yang paling kelam yang pernah aku rasakan. Aku melajukan mobil sekencang-kencangnya. Aku menuju tepian sungai Musi yang tak jauh dari jembatan Ampera. sesampainya di sana, aku segera memarkirkan mobil. Aku berlari menuju tepian sungai musi, aku melempar cincin yang aku bawa untuk Anis sekeras-kerasnya ke sungai Musi. Aku berteriak sekencang-kencangnya ‘ya Allah mengapa Engkau memberiku ujian seberat ini?? Apakah aku kurang keras berdoa dan berusaha?? Mengapa Engkau tak adil, Tuhan!!!’. Aku meracau bagai seorang hamba yang baru mengenal Tuhan, aku tak henti-hentinya menantang dan mengutuk Tuhan. menagih janjiNya yang tertera di kitab suci, menagih janjiNya dimana setiap doa pasti akan dikabulkan. Indahnya warna warni lampu jembatan Ampera dan riuhnya pasar malam tepian sungai Musi malam itu tak mampu secuilpun menghibur hatiku yang malang.

Anis memilih menikah dengan Firman, seorang engineer tambang yang saat itu menjabat Kepala Teknik Tambang (KTT) di salah satu perusahaan batubara besar di Kalimantan. Sebelum aku sampai di rumah Anis, Anis menjadi perempuan yang paling aku cintai, namun setelah aku bertemu dengannya Anis berubah menjadi perempuan yang paling aku benci. Setelah kejadian itu aku trauma untuk membuat janji dengan siapapun, terlebih untuk menjalin cinta dengan seseorang. Selama dua tahun aku berada dalam kemalangan, aku belum bisa move on dari Anis.

*******************

“tok tok tok!!...” suara ketukan pintu terdengar membuyarkan kenanganku tentang Anis beberapa tahun lalu.
“...bangun San, bangun.” Terdengar suara Ibu dari balik pintu.
“iya Mah, Ahsan udah bangun kok. Ini masih baca buku, bentar lagi mandi.”
“kamu gak lupa kan hari ini hari pernikahanmu?!” ibu kembali melanjutkan.
Pukul 9.00 aku tiba di rumah Keisya, pukul 9.30 ijab kabul dimulai. ‘saya terima nikahnya Keisya Amalia binti Abdul Rahman dengan mas kawin 8 dinar, 12 dirham dan 2013 rupiah dibayar tunai!’

Ijab kabul sukses dilakukan. Keisya mencium punggung tangan aku, kemudian aku kecup dengan mesra kening Keisya. Kecupan pertama untuk seorang perempuan sepanjang hidupku, selain ibuku. Hari ini aku sah menjadi suami Keisya, perempuan yang tak kalah baik dari Anis. Menurut aku Keisya jauh lebih cantik dibanding Anis, ia juga perempuan cerdas namun tidak keras kepala, ia sosok yang sempurna bagi aku. Dan satu lagi Keisya tak pernah sekalipun mengingkari janjinya denganku, meskipun menyangkut hal-hal sepele, semisal ketika ia ber-make up jika ia mengatakan kepadaku untuk menunggunya 15 menit. Keisya akan menepati untuk selesai make up paling lambat 15 menit.

Setelah 2 tahun menikah dengan Keisya, kami dianugerahi satu putra. Aku sangat bahagia menjalani biduk rumah tangga bersama Keisya. Karakter Keisya tidak berubah, ia sama seperti Keisya yang aku kenal sebelum menjadi istriku. Ia tetap rendah hati, penuh perhatian, tidak keras kepala dan sangat taat kepadaku. Ia benar-benar sosok istri yang solehah.

Belakangan aku tahu dari Mita, rumah tangga Anis dan Firman sudah tidak harmonis lagi. Firman tidak tahan dengan karakter Anis yang keras kepala dan suka mengingkari janji. Firman memilih untuk memadu Anis. Aku harap rumah tangga mereka segera harmonis kembali.

Pada akhirnya aku sadar, sekuat apapun aku mengikat dan mensemogakan seseorang, jika ia bukan jodohku. Ia tak akan pernah menjadi jodohku. Usaha dan doaku selama ini ternyata tidak sia-sia, Allah tak pernah mengingkari janjinya. Doaku dikabulkan, tidak dengan menikahi Anis melainkan Dia mengganti dengan yang lebih baik, Keisya. Tidak ada yang menjamin jika aku menikah dengan Anis, aku akan tetap bahagia dan hidup harmonis dengannya. Memang rencana Allah jauh lebih indah dari rencana hambaNya, maka berbahagialah dan jangan pernah putus asa.

Tamat.