Mercusuar

Mercusuar

Minggu, 22 Februari 2015

Tangis

 “a banguuun, udah jam 5 ini. Katanya take-off jam 8.30?”
Suara Novita melenyapkan kesunyian pagi di ruangan berukuran 4x5 meter itu. Sembari menarik selimut ia berusaha membangunkan suaminya, Farhan. Sudah empat tahun usia pernikahan Farhan dan Novita, mereka dikaruniai seorang putra yang baru seminggu lalu menginjak usia 3 tahun, Pasha namanya.

Selepas lulus dari jurusan Teknik Geologi Universitas Diponegoro 6 tahun lalu, Farhan dapat kesempatan bekerja di perusahaan tambang batubara yang ada di Kalimantan Timur, sekarang ia menjabat sebagai manager engineer di perusahaan tersebut. Sedang Novita saat ini bekerja sebagai akuntan di salah satu perusahaan di Serpong, tak jauh dari rumahnya.
Hari ini hari terakhir Farhan di rumah setelah dua minggu dapat jatah cuti rutin. Seperti pada umumnya perusahaan pertambangan, demi menjaga keharmonisan keluarga para karyawan diberi jatah cuti yang lebih banyak daripada perusahaan yang bergerak di bidang lainnya.  Sistem cuti di perusahaan dimana Farhan bekerja adalah dua bulan bekerja dan dua minggu cuti, jadi setelah dua bulan bekerja para karyawan diberi kesempatan untuk kembali ke rumah dan berkumpul bersama keluarga selama dua minggu, ditambah dengan cuti tambahan selama 12 hari dalam satu tahun.

Di tengah kesibukannya sebagai akuntan, Novita tak lupa dengan tugas utamanya sebagai ibu rumah tangga. Melihat Farhan bergegas ke kamar mandi, Novita segera meluncur menuju dapur untuk memasak dan menyiapkan sarapan. Usai memasak, Novita menyiapkan segala keperluan yang akan dibawa suaminya kembali ke pulau Borneo. Ia berpacu dengan waktu, berpindah dari satu ruangan ke ruangan lainnya mengumpulkan semua keperluan suaminya, ia memasukkan ke dalam koper pakaian yang sudah disetrika semalam sebelumnya, memasukkan kunci rumah cadangan dan tiket pesawat ke dalam tas kecil suaminya, menyiapkan camilan sampai menyiapkan jamu herbal jika sewaktu-waktu suaminya masuk angin ketika sedang bekerja di sana. Rasa-rasanya Novita adalah orang paling sibuk di dunia pagi itu.

“a aku anterin ke bandara ya?” tawar Novita ketika mereka masih duduk di meja makan beberapa saat usai sarapan.
“gak usah Mah, kamu kan masuk kerja jam 8. sekarang udah jam 6.15, nanti kamu telat biar aku naik taksi aja.”
“tapi kan...”
“ssstt..gak usah ada tapi-tapi.”
Belum juga Novita selesai berbicara, Farhan langsung menjawab sambil menempatlkan jari telunjuknya secara vertikal di bibir Novita.
Mendengar itu, Novita tak bisa berbuat apa-apa. Ia pun menuruti permintaan suaminya, padahal sebelum sarapan Novita sudah memanaskan mesin mobil yang ada di garasi.
Beberapa menit kemudian taksi datang, semua barang-barang yang akan dibawa dimasukkan ke dalam bagasi. Tepat di depan gerbang rumah, Farhan berpamitan pada Novita dan Pasha, Ia mencium kening dan memeluk mereka satu per satu.

********

Novita dan Farhan menjalani Long Distance Relationship dengan sangat baikmereka tak pernah luput sehari pun untuk berkomunikasi. Berkomunikasi lewat Whatsapp, telpon, skype, dan tentunya berkomunikasi lewat doa.
Hari ini tepat 25 hari setelah Farhan meninggalkan rumah pagi itu, hari ini juga tepat tiga hari sebelum ulang tahun ke-26 Novita.
“a tiga hari lagi bisa pulang gak ke rumah?” tanya Novita pada Farhan melalui telpon.
“emangnya ada apa, Mah?”
Novita tertegun sejenak, jawaban yang berbentuk pertanyaan dari Farhan itu membuat lidahnya kelu. Ia tak menyangka bagaimana bisa untuk pertama kalinya dalam 7 tahun terakhir Farhan melupakan salah satu hari spesial di hidupnya. Tetapi ia mencoba untuk berpikir positif, mungkin Farhan sedang sibuk dengan urusan kantornya sehingga lupa tentang ini.

“tiga hari lagi ulang tahun aku a, bisa kan ambil sebagian cuti yang 12 hari itu buat merayakan ultah aku sambil berlibur di Lombok?”
Dengan nada tinggi Farhan menjawab “apa Lombok?!! Kamu kok sekarang kayak anak kecil Mah minta yang aneh-aneh. Inget Pasha udah mulai gede. Kita harus siapkan dari sekarang biaya buat masa depannya. Kamu kan bisa ngitung, daripada buat ke Lombok masih mending uangnya masuk tabungan!”
Novita terdiam seakan masih tak percaya apa yang baru saja ia dengar. Ia rasanya ingin menjawab ‘a kalau alasannya cuma karena uang, pakai uang aku aja. Tabungan aku juga udah lebih dari cukup buat berlibur ke Lombok bertiga.’ Namun Novita tak jadi mengatakan itu, karena ia tak mau menyakiti hati suaminya.

Dari awal menikah, Farhan tak pernah tahu dan tak pernah mau tahu jumlah tabungan Novita. Karena Farhan yakin dalam Islam, suami tak punya hak sepeserpun dari hasil kerja keras istri, sementara istri punya hak terhadap hasil jerih payah suami dan suami wajib memenuhi segala kebutuhan sang istri.
“tapi bisa ambil cuti tambahan dan pulang kan a?” Novita kembali bertanya.
“aku lagi sibuk banget Mah. Harga batubara lagi jatuh, perusahaan harus muter otak biar gak rugi. Jadi kali ini aku gak bisa pulang. Gak usah ada pertanyaan lain lagi oke, kamu sekali-kali ngerti dong kerjaan aku!” cetus Farhan.
‘tuuuut...’ Novita menutup telpon tanpa sepatah kata pun, matanya berkaca-kaca. Ia tak percaya Farhan yang selama ini lembut kepadanya seketika menjadi garang. Jawaban-jawaban Farhan seakan merubah kepercayaannya tentang Farhan yang lembut dan penyayang.

Novita paham betul dengan pekerjaan suaminya sebagai manager engineer, akan tetapi Novita tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Sejujurnya ia tidak terlalu kecewa karena Farhan tak mengabulkan permintaannya untuk berlibur ke Lombok, tetapi ia sangat kecewa karena Farhan tak bisa pulang. ini pertama kalinya Farhan tak ada di hari ulang tahun Novita, dulu semenjak pertama kali menjalin hubungan 7 tahun lalu sampai menjadi suami. Sesibuk apapun Farhan, ia selalu menyempatkan hadir di hari ulang tahun Novita. Bahkan dulu Farhan rela membatalkan keikutsertaannya di program student exchange ke Korea hanya untuk mudik ke Cilegon dan mengucapkan selamat ulang tahun secara langsung kepada Novita di Lippo Karawaci.

********

Di hari ulang tahunnya, Novita bangun pukul 5.15 pagi. Sebelum beranjak dari tempat tidur ia sejenak membuka handphonenya. Ia menjumpai puluhan pesan masuk, pesan dari teman satu kantor, teman satu sekolah, teman satu kampus dan juga dari sahabat-sahabat terdekatnya, yang kesemuanya sama memberi selamat ulang tahun pada Novita. Beberapa menit kemudian terdengar nada pesan Whatsapp masuk.
“Mah selamat ultah.” Pesan Whatsapp Farhan pada Novita.
Membuka pesan itu, Novita kembali terhenyak. Tak ada kata-kata romantis, tak ada doa, tak ada harapan apalagi kado. Yang ada hanya kalimat sederhana, yang bahkan lebih sederhana dari ucapan ulang tahun teman semasa SD Novita. Ditemani tetesan-tetesan yang mengalir deras dari pelupuk mata ia mencium kening Pasha yang masih belum terbangun di sampingnya. seakan berkata "Pasha, ayahmu telah berubah."

Pagi itu Novita bergegas menuju kantor, seperti biasanya sebelum ke kantor ia singgah terlebih dahulu ke rumah orang tua Novita, yang hanya berjarak 5 km dari rumahnya untuk menitipkan Pasha selama ia bekerja. Sesampainya di rumah orang tua Novita, ia ternyata diajak orangtuanya untuk makan malam di Summarecon Mall setelah Novita pulang kerja, sekaligus akan ada perayaan kecil-kecilan di hari ulang tahun Novita. Novita lantas mengiyakan, karena ia juga ingin menceritakan kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini kepada orang tuanya.

Sore pukul 4.30 Novita pulang dari tempat kerja. Ia tidak langsung menuju rumah orang tuanya, ia memilih untuk pulang ke rumah terlebih dahulu untuk mengganti pakaian. ia melajukan mobilnya di tengah aliran mobil-mobil lain yang hanya bergerak 5 km per jam. Setelah berjuang hampir satu jam melawan kemacetan kota Serpong sore itu, akhirnya ia sampai di rumah. Novita memarkir mobilnya tepat di depan gerbang rumah. Ia membuka gembok gerbang rumah, perlahan membuka gerbang dan menuju pintu. Setelah membuka kunci pintu rumah, ia menyalakan lampu rumahnya.

Sejenak ia duduk di sofa depan tv dan mencopot hijabnya yang berwarna merah marun, ia kembali mengecek handphone. Akan tetapi tak ia jumpai pesan atau panggilan masuk dari Farhan pun dengan pesan dari kurir pengiriman barang, yang menurut pikirnya akan mengantarkan kado dari Farhan. Kemudian dengan raut muka yang kusut Novita mengarahkan pandangannya pada plafon rumah bercat putih berhiaskan ukiran-ukiran gypsum, entah apa yang ada di pikiran Novita kala itu.

Novita bergegas menuju kamar untuk mengganti pakaian, ia membuka pintu kamar secara perlahan lalu menyalakan lampu kamar. Ketika Novita mengarahkan pandangannya pada tempat tidur, Novita kaget bukan kepalang, ia menjumpai sosok laki-laki yang sedang duduk dan menatap matanya. Ia hampir saja berteriak sekencang-kencangnya untuk meminta tolong, akan tetapi satu detik kemudian ia sadar bahwa sosok laki-laki itu adalah Farhan, suaminya.
Novita hanya berdiri mematung, ia masih tak percaya seseorang yang ada di depannya adalah Farhan. Farhan lalu tersenyum, ia beranjak dari tempat tidur, ia berjalan perlahan menuju Novita dengan tatapan mata yang amat dalam. Kemudian Farhan meraih tangan Novita, dengan lembut mengelus rambut Novita dan mencium kening Novita, Novita masih berdiri mematung tanpa reaksi apapun. lalu, Farhan memeluk Novita erat-erat seraya berbisik.
“sayang, aku tak akan mungkin melewatkan hari spesial ini begitu saja tanpamu. Aku akan melakukan apa saja untuk membuatmu bahagia. Selamat ulang tahun, semoga semuanya menjadi lebih baik.”
Mendengar itu hati dan jiwa Novita bergetar, tak terasa airmata membasahi pipinya, sekaligus membasahi pundak Farhan.
“maafkan atas sikapku 3 hari ini, aku tak sungguh-sungguh ingin membuatmu bersedih. Aku hanya ingin memberikan sesuatu yang berbeda.” Farhan melanjutkan.
Masih dalam dekapan Farhan, sambil terisak Novita menjawab “iya a, makasih buat kejutannya. Maafin aku juga udah berburuk sangka.” Novita semakin erat memeluk Farhan.
5 menit kemudian...
“Mah, aku ada sesuatu buat kamu.” Sambil menunjukkan sebuah amplop. Novita membuka amplop itu, dilihatnya tiket pesawat pulang pergi Jakarta-Lombok untuk bertiga.

Ternyata dugaan Novita selama ini salah. Tak ada yang berubah semenjak mereka menjalin hubungan 7 tahun lalu. Bahkan saat menjadi suami, Novita merasakan kasih sayang yang berlipat dari Farhan. pun dengan treatment Farhan ketika Novita berulang tahun. Bedanya dulu ketika belum menikah mereka hanya sekadar merayakan dan bertemu di tempat ramai tanpa ada sentuhan sedikit pun, apalagi sampai ada ciuman di kening Novita.

Farhan semakin mensyukuri dianugerahi seorang bidadari bernama Novita, yang tingkat ketaatan dan kesabarannya tak perlu lagi diragukan. Bagi Farhan puncak kebahagiaan bukanlah ketika ia bisa meraih impian-impiannya, akan tetapi puncak kebahagiaan baginya adalah ketika ia bisa membahagiakan orang yang ia sayangi, Novita.

Selasa, 17 Februari 2015

Senja

            
          Sore itu di sebuah lapangan bola dekat pantai. Dani pemuda sederhana yang cenderung introvert, terlihat duduk merenung dan menikmati indahnya langit yang menjingga. Rasa-rasanya ada yang ia pikirkan tapi entah pikiran apa yang sedang menyelimuti perasaannya.

“hey Daaaan!” sahut Reno yang seketika membuyarkan lamunan Dani saat itu. Reno adalah sahabat karib Dani sejak SMA, Beberapa saat kemudian Reno menghampiri dan menepuk pundak Dani.
“kenapa lu duduk ngelamun sendirian gak jelas gini. Hati-hati loh bentar lagi maghrib, bisa kesambet lu! Haha”.
“hush, sembarangan aja lu Ren. Orang cuma nikmatin sunset aja kok!”. Jawab Dani dengan tatapan sayu. Semenjak minggu lalu Dani bertemu dengan pujaan hatinya, ia terlihat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di hidupnya. Perubahan yang terkadang membuatnya sedih atau bahkan rindu yang tak berkesudahan. Ketika ia sedang merasakan perasaan itu, ia selalu menceritakannya pada senja. Karena ia percaya, senja adalah simbol penantian yang begitu indah.

“serius lu cuma liatin sunset doang?” tanya Reno.
“Bentar-bentar gue lihat mata lu dulu!” Reno pun bergegas memegang wajah Dani dengan kedua tangannya, terlihat kedua sisi pipi Dani yang melekuk penyok karena tenaga Reno yang cukup besar. Reno mengamati dengan seksama mata Dani, bak sedang membaca berulang-ulang materi kuliah yang sukar untuk dipahami.
“jaahhhh bohong lu Dan, apaan cuma liatin sunset doang. Mata lu gak bisa bohong, gue ini udah lama kenal sama lu, jadi gue tahu gimana mata lu pas seneng, sedih dan galau. Haha.” seloroh Reno yang penuh dengan kegirangan dan sindiran. Namun seketika suasana menjadi hening, kemudian Reno menatap mata Dani dalam-dalam. Dengan suara yang pelan Reno bertanya.
“Tapi anyway, kenapa bro? Gue tahu lu lagi sedih, jujur aja deh.”
“minggu lalu gue abis ketemu Amel, Ren.” Timpal Dani sambil menggores-goreskan kayu yang ada di tangan kanannya di rumput yang bercampur pasir.

Amel, wanita manis yang mempunyai lesung pipit, ia adalah wanita yang cerdas dan juga baik hati. Amel tidak pernah satu sekolah dengan Dani, pun ketika mereka masuk di bangku kuliah, meski begitu ternyata mereka berasal dari daerah yang sama. Amel dan Dani bertemu di acara kongres BEM seluruh Indonesia. mereka menjadi salah satu utusan BEM universitas masing-masing. Dari acara kongres itu awal mula perkenalan mereka. Setelah acara kongres berakhir, komunikasi mereka terus berlanjut hingga akhirnya sampai di suatu titik dimana Dani jatuh hati pada Amel. Setelah beberapa bulan mengenal dan dekat dengan Amel, Dani memutuskan untuk menyatakan apa yang ia rasakan via sambungan telpon, tanpa menawarkan suatu hubungan apapun.

Sambil mengernyitkan dahi, Reno berkata. “loh bagus dong Dan lu ketemu Amel, harusnya kan lu seneng. Finally bisa ketemu juga setelah hampir setengah tahun lu nunggu.”
“iya sih Ren gue seneng banget bisa ketemu Amel, cuma pas ketemu itu Amel jelasin tentang perasaannya ke gue.”
“emang Amel jelasin tentang perasaannya gimana sampe lu sedih gini Dan?
”oke gue ceritain apa yang terjadi pas ketemu sama Amel minggu lalu, jadi ceritanya gini Ren......”

      [Sabtu, 17 Mei. Siang itu tak seperti biasanya terasa sejuk di kota yang terkenal berhawa panas ini. Matahari dan hujan seakan malu-malu pada bumi, sinar matahari tak begitu terik, hujan pun tak kunjung turun. Hanya terlihat segerombolan awan hitam yang menaungi perjalanan Dani dan Amel dari rumah masing-masing menuju salah satu tempat makan di alun-alun kota.
Sehari sebelumnya Dani dan Amel sepakat untuk bertemu setelah dzuhur, setelah mereka shalat dzuhur di rumah masing-masing. Dani sudah jauh-jauh hari berencana menyatakan apa yang selama ini ia rasakan secara langsung kepada Amel, ketika nanti bertemu di tempat makan itu.

Menjelang dzuhur di hari sabtu, Dani mengirim sms ke Amel. “Mel, aku InsyaAllah sampe di tempat makan jam 12.30”
Setengah menit kemudian terdengar nada sms. “oke kak!” balasan sms Amel singkat.
Hari itu dzuhur tiba pukul 12.03, setelah shalat dzuhur Dani bergegas menuju garasi dan mengambil motornya. Sebelum melajukan motornya ia melihat sejenak jam yang ada di handphone-nya, waktu menunjukkan pukul 12.15. “wahh harus cepet ini, jangan sampe telat!” gumam Dani dalam hatinya. Dani memacu motor dengan cepat, meliuk-liuk di antara kendaraan-kendaraan lain demi satu tujuan, bertemu dengan pujaan hati.

Beberapa menit kemudian, Dani sampai di tempat makan yang dituju. Ia sengaja duduk di barisan kursi paling depan dekat dengan tempat parkir, agar nanti Amel tak usah repot-repot mencarinya ketika Amel tiba. Setelah duduk, Dani melihat kembali handphone-nya, waktu menunjukkan pukul 12.31, “aduh telat satu menit!” keluh Dani dalam hati. Segera setelah itu Dani mengirim sms ke Amel. “Mel, aku udah sampai di tempat makan.”
“pesan dulu aja kak, Amel baru jalan dari rumah, maapin. Hehe” balasan sms Amel.

Dani tersenyum bahagia membaca sms dari Amel, bahagia karena sebentar lagi impian untuk bertemu Amel setelah hampir setengah tahun tak bertemu akan terwujud. Ia sama sekali tak mempermasalahkan Amel yang telat, karena tawaran Dani yang sepihak untuk bertemu pukul 12.30 terasa tak masuk akal bagi Amel yang letak rumahnya ke tempat makan lebih jauh daripada rumah Dani, terlebih Amel adalah wanita, yang tentu tidak akan sesimpel Dani dalam berpakaian. Dani sengaja menawarkan sepihak waktu untuk bertemu, bukan karena ia ingin memaksakan Amel agar secepatnya bisa tiba, melainkan karena Dani tak ingin Amel yang malah tiba duluan di tempat makan dan menunggu Dani.

Sambil menunggu Amel, Dani duduk dan mendengarkan musik melalui headsetnya. 20 menit kemudian, dari kejauhan terlihat sosok anggun berhijab warna biru dan memakai rok putih. Berjalan semakin mendekat dan mendekat, Dani segera mencopot headsetnya dan memasukannya ke dalam tas. ketika melihat Amel ada di hadapannya, denyut jantung Dani bergetar semakin kencang pun dengan aliran darah di nadinya yang mengalir semakin deras. Ia terpana dan terhanyut dalam larutan perasaan senang, gugup, tak percaya, khawatir, takut dan entah apalagi kata yang bisa menggambarkan perasaan Dani kala itu.

“udah lama kak?” tanya Amel bersimpul senyum yang dihiasi lesung pipit indah di pipinya.
“belum lama kok Mel.” Jawab Dani singkat seraya dalam hati bertanya-tanya seakan masih belum percaya bisa bertemu kembali dengan sosok yang ia rindukan.
Keduanya memesan makanan, tak lama kemudian pesanan datang. Sambil makan mereka memulai pembicaraan dengan obrolan-obrolan ringan seputar kuliah, organisasi dan kegiatan sehari-hari selama di rumah. Dari raut muka Amel yang sedikit murung dan tatapan mata Amel yang selalu menunduk, Dani bisa membaca ada yang disembunyikan dari Amel. Atau mungkin ada yang ingin Amel sampaikan namun ia takut itu akan menyakiti hati Dani.

Setelah selesai makan, pembicaraan serius dimulai.
“Mel, ada yang mau disampein gak?” tanya Dani.
“Kak Dani dulu deh, nanti baru Amel.” jawab Amel singkat.
Setelah melalui perdebatan singkat mengenai siapa yang duluan menyampaikan, akhirnya Dani setuju untuk menyampaikan terlebih dahulu.
“aku ngerasa ada yang disembunyiin dari Amel.” Yang sebenarnya, maksud pernyataan itu adalah ‘ada yang berubah dari Amel’, namun Dani membahasakan dengan bahasa lain karena Dani sadar bagaimanapun ia bukan siapa-siapanya Amel.
“gak ada kok kak, gak ada yang Amel sembunyiin dari kakak.”
“oh gitu, itu aja kok Mel yang mau disampein. Sekarang gantian Amel.”

“kak ngerasa gak ada yang berubah dari Amel?” Amel membuka obrolan dengan pertanyaan, pertanyaan yang berhulu pada akhir-akhir ini ada perubahan dari sikap Amel ke Dani, yang dulu begitu ramah, welcome dan selalu membalas setiap sms yang Dani kirim akan tetapi akhir-akhir ini isi sms Amel tak seperti dulu lagi, bahkan akhir-akhir ini sms Dani jarang dibalas. Kalaupun dibalas, Amel hanya membalasnya singkat.
“iya Mel aku ngerasa ada yang berubah dari Amel.” Dani tidak bisa bohong untuk mengatakan ‘tidak’.
“Amel ngerasa lebih nyaman sama kita yang dulu, sebelum kak Dani menyatakan perasaan kakak itu. Setelah kak Dani menyatakan itu, Amel jadi sadar bahwa untuk saat ini Amel belum siap buat punya hubungan sama siapapun. Lagian, untuk ke arah yang lebih serius (pernikahan) kayaknya masih lama deh. Amel lagi mau sendiri kak, gak mau deket sama siapa-siapa. Amel juga gak ada perasaan apa-apa sama kak Dani.”

Mendengar itu, langit serasa runtuh dan seketika hati Dani tergores. Meskipun sebelumnya ia sudah siap dengan jawaban terburuk, sekuat-kuatnya persiapan ternyata goresan dan rasa kecewa masih tetap Dani rasakan. Namun, Dani mencoba untuk kembali menguasai keadaan, ia memang kecewa karena ternyata orang yang ia sayangi tak punya perasaan yang sama dengannya.
“gimana tanggapan kak Dani?” sambung Amel.
Beberapa saat kemudian Dani menjawab. “Mel aku pernah bilang kan ke Amel, kalau aku berusaha untuk selalu berada di zona ikhlas dalam memperjuangkan Amel. Aku hanya mencoba untuk melakukan yang terbaik, masalah hasil biarlah itu urusanNya. Dan aku sama sekali tidak menuntut apa-apa dari Amel.” Dani sejenak menghela napas, dan melanjutkan pembicaraannya.
“Mel, rasa kecewa pasti ada tapi aku yakin kok. Jodoh itu udah diatur, kalau memang Amel jodoh aku, apapun lika-likunya, seberapa berat pun tantangannya. Pasti Amel bakal kembali ke aku kok.”
Amel pun mengangguk tanda setuju, dan kemudian bertanya. “maafin Amel ya kak, kakak ngerasa diphpin Amel ya?”
“hmm.. iya Mel.” Lagi Dani tak mau bohong dengan yang ia rasakan.

“kak Dani marah sama Amel?”
“Sekarang terserah kak Dani, mau marah mau maki-maki Amel, Amel terima kak.”
Dengan tersenyum Dani menjawab. “enggak marah kok Mel, sama sekali gak marah.” Dani menghargai keputusan Amel yang saat ini ingin sendiri dan tak mau dekat dengan laki-laki manapun.
“kak Dani gak sedih kan?”
“enggak sedih Mel.” Jawab Dani. Dani tak bersedih karena ia yakin ini bukan akhir dari segalanya. Mungkin ceritanya akan berbeda jika Amel dilamar sama laki-laki lain dan dia menerima lamarannya. Dani pasti akan bersedih sesedih-sedihnya.
“sekarang kak Dani silakan memperjuangkan yang lain aja.” Saran Amel pada Dani.
Dani tak menjawab, ia hanya menjawab dengan senyuman. Dalam hati Dani berkata ‘Mel, andai menemukan sosok sepertimu tidak lebih sulit dari menemukan jarum di antara tumpukan jerami, aku pasti akan melakukan itu.’

“Mel, jangan membenci aku ya?” tanya Dani dengan penuh kekhawatiran.
“enggak kak, justru harusnya pertanyaan itu yang aku tanyakan ke kak Dani.”
“yaudah setelah ini kita sepakat di antara kita gak akan ada permusuhan dan kebencian ya Mel, kalau nanti kapan-kapan ada kesempatan aku ketemu sama Amel lagi. Raut muka Amel jangan murung lagi ya, biasa aja.”
“iya kak, sekarang aja udah biasa aja kan” diiringi senyum manis Amel yang berhiaskan lesung pipit, seketika terlihat wajah Amel yang riang dan tak lagi murung.
“Mel, aku mau bilang sesuatu ke Amel.”
“Apa kak?”
“Dari semua wanita yang pernah aku kagumi. Amel adalah wanita terbaik.”
Amel hanya tertawa kecil, entah apa yang ada di pikiran Amel. Mungkin ia menganggap pernyataan itu adalah sebuah gombalan klise dari seorang Dani.
“dan yang terakhir, setelah ini aku masih memperjuangkan Amel. Berjuang dengan cara yang pasif.” Lanjut dani.
“melalui doa?” tanya Amel.
Dani hanya menjawab dengan senyuman. Beberapa saat kemudian terdengar dering handphone dari dalam tas Dani, ternyata itu adalah calling dari kakak Dani, pertanda Dani harus segera pulang. Ia sengaja untuk tidak mengangkatnya terlebih dahulu, ia lebih memilih untuk menelpon kembali saat pertemuan dengan Amel usai. Setelah dering telpon itu, Mereka memutuskan pulang. 

Amel sosok wanita mandiri yang bahkan menolak tawaran Dani untuk mengantarkannya ke rumah. Ia bukan tidak mau menghargai tawaran Dani, tapi ia hanya tak ingin merepotkan siapapun termasuk Dani. Dani pulang dengan perasaan lega, meskipun ia sekarang tahu bagaimana perasaan Amel kepadanya. Ia tetap bahagia karena baginya, bertemu dengan Amel adalah suatu kebahagiaan yang tak ternilai. Di sepanjang perjalanan pulang diterpa hembusan angin mendung, bunga-bunga di tepi jalan seakan melambai dan tersenyum pada Dani, mengisyaratkan bahwa mereka mencoba menghibur dan menguatkan hati Dani. Sesampainya di rumah Dani masih terbayang dengan senyum manis Amel. Senyuman yang tidak bisa dilupakan bahkan hingga saat ini.]

“..... jadi gitu ceritanya Ren.” Mengakhiri cerita Dani mengenai pertemuan dengan Amel minggu lalu. Dani dan Reno lantas berdiri, keduanya berjalan menuju bibir pantai. Setelah sampai di bibir pantai, Reno kembali bertanya.
“Dan, bukannya pas lu nyatain lewat telpon itu respon Amel bagus? Bahkan Amel sendiri kan yang bilang kalau dia pengen denger secara langsung apa yang lu nyatain itu pas nanti ketemu?” sergah Reno.
“hmm jadi pas minggu lalu lu ketemu, lu gak sempet dong sampe nyatain perasaan lu secara langsung ke Amel?” lanjut Reno.
“awalnya sih emang gitu Ren, tapi beberapa hari setelah gue nyatain itu Amel tiba-tiba mulai menjauh. Ya gak sempet Ren, mau gimana lagi orang belum juga gue nyatain perasaan gue. Amel udah terlanjur bilang itu duluan.” Jawab Dani.
 “ohh I see I see, jadi semua ini yang sekarang bikin lu sedih Dan?” tanya Reno.
 “eh tapi kan pas ketemu itu lu bilang gak sedih sama Amel, kenapa lu bohong.” Reno kembali melanjutkan.
“bukan karena itu Ren.” Jawab Dani singkat.
“lah terus apa dong yang bikin lu sedih Dan?”

Dani mengambil napas dalam-dalam, seakan sedang mengumpulkan energi yang besar untuk melakukan sesuatu.
Dengan nada suara yang agak tinggi Dani menjawab. “bukan karena itu gue sedih Ren, bukan! Gue sedih bukan karena gue tahu kalo Amel ternyata gak punya perasaan yang sama kayak gue. Gue sedih bukan karena gue gak sempet nyatain perasaan gue secara langsung ke Amel. Gue juga gak menyesal memeperjuangkan Amel hingga detik ini. Gue saat ini sedih karena gue sekarang gak bisa lagi tahu kabar dia. Gue gak bisa lagi tahu saat dia sedih, saat dia lagi ada masalah, saat dia lagi gak enak badan dan saat dia dihukum sama teman-teman sekelasnya buat bikin tulisan di kertas double folio sama dosen yang terkenal killer di fakultasnya.” Kata-kata Dani memecah keheningan senja kala itu.
Dengan suara lirih Dani melanjutkan. ”dan di sini.... you know Ren, i can do nothing. Itu  yang bikin gue sedih.” Dani kembali menghentikan pembicaraannya. Ia sejenak mengalihkan pandangannya pada senja yang mulai pekat.
Kemudian kembali menatap mata sahabat karibnya. “lu mesti tahu Ren saat ini gue udah jarang banget komunikasi sama Amel, gak kayak dulu yang hampir tiap hari. Bahkan selama seminggu ini gue sama sekali belum tahu kabar Amel. Harus ada alasan yang kuat buat gue, biar gue bisa komunikasi sama Amel.”
Reno memegang pundak Dani erat-erat, ia bisa melihat raut kesedihan di wajah Dani. Meskipun ia tak setetes pun menjumpai airmata jatuh dari pelupuk mata Dani.

“sabar bro! Gue bisa bayangin gimana rasanya kalau ada di posisi lu.” Reno mencoba untuk menghibur Dani.
“jadi sekarang lu maunya gimana Dan? Mau gue kenalin sama teman-teman gue, biar lu bisa lupain Amel? Banyak kok teman-teman gue yang cantik.” Tawar Reno pada Dani.
Dani hanya tersenyum getir. “ini bukan tentang cantik atau gak Ren. Gue juga lelah buat kenal orang baru. Makasih tawarannya. Lu gak usah repot-repot.” tolak Dani.
“hmm jadi sekarang lu masih mau memperjuangkan Amel? Tapi kan susah bro, lu komunikasi aja jarang.”
“iya Ren gue masih memperjuangkan Amel, tapi dengan cara pasif dan dengan cara yang berbeda.”
Allahuakbar Allahuakbar.... dari kejauhan suara adzan mulai terdengar.
“udah Adzan tuh Dan, yuk kita cabut!” ajak Reno pada Dani.
“kalau emang lu yakin sama keputusan lu itu, gue sebagai musuh abadi lu dukung sepenuhnya Dan! Sekarang lu gak usah sedih lagi deh, semangat! Haha” lanjut Reno.
“oke Ren siap! Lu emang musuh abadi gue yang paling jahat deh! Haha” timpal Dani.
Dihiasi pancaran senja yang mulai memudar, langkah kaki kedua pemuda itu meninggalkan jejak-jejak di pasir pantai. Jejak yang akan menjadi saksi bisu tentang kisah yang akan terjadi selanjutnya.